Siak (ANTARA) - Belasan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) hidup dan menempati Pusat Konservasi Gajah (PKG) Minas, Kabupaten Siak, dengan nyaman didampingi para mahout atau pawang yang setiap hari merawat mereka.
Para mahoutsetiap harinya bertugas mulai dari memberi makan hingga memandikan satwa berbadan tambun di PKG Minas yang berjumlah 15 ekor banyaknya.
Tiap ekor ditanggungjawabi oleh mahout yang berbeda, diamati 24 jam dan dirawat bak anak sendiri setiap harinya.
Di antara belasan gajah, ada seekor yang paling tua bernama Sengarun. Usianya sekitar 59 tahun dengan gading panjang yang menunjukkan ia pejantan yang gagah.
Walau masih berdiri tegap, daun telinganya yang lebar tampak berkerut dan sudah berlubang menandakan waktu telah lama bergulir bersamanya.
Meski tatapan matanya teduh seolah menenangkan, Sengarun yang cukup sensitif tak boleh didekati sembarangan tanpa didampingi. Jangankan orang asing, kadang mahout yang telah dikenalnya pun bisa diserang saat perasaannya sedang tak baik.
Di usia yang kini sudah tak lagi muda, Sengarun dirawat oleh seorang pria bernama Misno. Sudah 8 tahun waktu berlalu sejak pria berkumis tersebut menjadi penanggungjawab sehari-hari Sengarun.
Sambil beraktifitas ringan,Misno menceritakan bahwa sejak 2016 ia tumbuh dan hidup bersama gajah bernama Sengarun tersebut.
Sengarun sendiri bertugas sebagai gajah penanganan konflik. Menuntun, mengevakuasi, membimbing gajah liar yang berkonflik dengan manusia sudah menjadi keahlian bagi Sengarun.
"Sekarang dia (Sengarun) tak lagi aktif dalam penanganan konflik. Sudah mendekati kepala 6, tenaganya sudah berkurang," sebut Misno saat ANTARA temui di PKG Minas, Selasa (25/6).
Dikisahkannya, awalnya Sengarun didatangkan dari Provinsi Lampung pada tahun 1990-an. Tak sendiri, saat itu ia datang bersama gajah yang diberi nama Indah. Keduanya menjadi jawara dalam penanganan konflik yang melibatkan gajah.
Bahkan, belasan ekor gajah yang kini berada di PKG Minas seluruhnya hasil kerja kedua gajah ini, dievakuasi dari berbagai daerah di Provinsi Riau.
Sengarun dan Indah berkolaborasi, kompak menuntun gajah lainnya hingga tiba di tempat baru yang pada akhirnya menjadi rumah baru bagi mereka.
Banyaknya pengalaman yang dilewatinya, Sengarun pun dengan mudah dapat menuntun gajah dari rawa ke daratan serta menggandeng gajah liar untuk naik ke atas truk bila diperlukan tindakan evakuasi.
"Sengarun sudah terbiasa di hutan, sehingga sedikit saja kita perintahkan dia sudah tahu kerjanya bagaimana," terang Misno.
Di usianya yang sudah tergolong tua, gajah liar di hutan pun seakan segan pada Sengarun. Sengarun pun seolah paham antara lawan dan individu yang dapat ditaklukkannya.
Tak hanya gajah liar, gajah yang berada di PKG Minas pun juga segan dengan Sengarun yang lebih senior dibandingkan yang lainnya. Hal itu tampak dari gajah yang lebih muda. Saat berdekatan dengan Sengarun, ada rasa takut dan segan pada gajah jantan yang telah lama menjadi penghuni PKG Minas tersebut.
"Terlebih lagi Sengarun memiliki sifat dominan dan lebih agresif dibandingkan gajah lainnya. Jadi saat digabung dengan temannya yang lebih muda akan merasa segan sehingga tak bisa berbaur. Padahal Sengarun santai saja, tapi yang lebih muda itu takut," tutur Misno.
Puluhan tahun menempati PKG Minas, Sengarun telah dirawat oleh tiga orang mahout termasuk Misno. Tentu banyak kisah yang tak hanya dilewati Sengarun, namun juga pawangnya.
Misno melanjutkan, Sengarun lah gajah pertama yang dirawatnya dari awal hingga kini selama perjalanannya sebagai mahout. Banyak pelajaran dan pengalaman yang didapatkannya dari Sengarun saat berugas sebagai gajah penanganan konflik.
Hal serupa juga dirasakan para terdahulunya. Dikisahkannya, pada suatu waktu mahout dan Sengarun tersesat di hutan. Saat itu sistem navigasi GPS belum menjadi barang awam yang dimiliki mahout.
Sekian lama berputar, jalan keluar tak kunjung ditemukan. Keduanya hanya dikelilingi pohon selama beberapa waktu lamanya. Frustrasi dan rasa pasrah mulai menguasai sang mahout.
"Kemudian senior saya berbisik pada Sengarun 'Kemana pun kau pergi, aku ikut aja. Aku tak tahu jalan lagi,' kata senior saya saat itu," ucap Misno menirukan ucapan pendahulunya.
Ajaib, Sengarun paham dan membawa mereka kembali pulang. Tanpa dituntun mahout, Sengarun mengingat jalan yang telah dilalui berdasarkan instingnya saat itu. Keduanya berhasil keluar dari hutan setelah sekian lama.
Misno sendiri pada awalnya tak menyangka akan menjadi pawang bagi satwa berbelalai tersebut. Tak ada niat hidupnya saat itu untuk menjadi mahout.
Namun Misno yang baru saja menganggur ditawari oleh saudaranya yang juga bekerja di PKG Minas.
Setelah nekat dan memberanikan diri, tawaran itu pun diterimanya. Namun Misno terkejut melihat gajah ternyata jauh lebih besar dibandingkan kerbau yang biasa ia lihat di kampung.
"Awalnya saya takut dan deg-degan karena gajah ternyata besar sekali. Badannya tambun dan tinggi. Setelah seiring berjalannya waktu, dengan dibimbing senior saya mulai terbiasa," ucapnya.
Bermodalkan keberanian dan hati yang tulus, dikatakannya, lama kelamaan ia berhasil menarik hati Sengarun. Seolah takdir, ia pun merasakan menyatu dengan gajah tertua di PKG Minas tersebut.
Di usianya yang tak lagi muda, Misno mendapati perbedaan Sengarun. Sengarun tak lagi makan sebanyak masa kejayaannya dulu. Berbeda dengan gajah muda yang tak henti makan meski kenyang, Sengarun berhenti saat dirasakan perutnya sudah cukup menampung makanan.
"Sengarun sudah tua. Pola makannya juga berkurang. Kalau dirasanya lapar, baru makan lagi," ujar Misno sambil menatap kejauhan.
Walaupun sudah tua, Sengarun masih beraktivitas sama seperti gajah lainnya. Mulai dari membersihkan lokasi tambatannya yang menjadi tempat ia tidur di malam hari, dimandikan, dan dibawa jalan ke hutan sebelum kembali dikumpulkan.
Sebagai senior yang tentunya memiliki banyak pengalaman, mengajarkan juniornya di PKG Minas untuk menjadi gajah yang berperan dalam penanganan konflik juga merupakan aktivitas Sengarun sehari-hari.
"Ia masih melatih gajah lain seperti Bangkin, Jopi dan Vera yang juga bertugas dalam penanganan konflik. Regenerasi," tambah Misno.
Kawanan gajah Sumatera di Riau sendiri kini tersisa hanya seratusan ekor. Jumlah yang tak lagi banyak tersebut terus dihantui dengan perburuan liar yang menjadi momok tak hanya bagi gajah, namun juga tiap satwa dilindungi di Riau.
Menjalani hari tuanya, harapan besar agar Sengarun dapat terus hidup sehat, menjalani kehidupan yang tenang dan nyaman di PKG Minas bersama kawanannya.