Jakarta (ANTARA) - Pada 8 Desember, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan pemungutan suara mengenai resolusi gencatan senjata yang dirancang oleh Uni Emirat Arab (UEA), namun resolusi tersebut tidak diadopsi karena adanya veto dari Amerika Serikat.
Ketika dimintai komentar, juru bicara Mao Ning mengatakan dalam sebuah konferensi pers harian bahwa hampir 20.000 warga sipil telah terbunuh dan lebih dari satu juta penduduk terpaksa mengungsi dalam dua bulan terakhir sejak awal pecahnya kekerasan dalam konflik Palestina-Israel saat ini.
"Gencatan senjata dan mengakhiri permusuhan kini merupakan prioritas utama dan mencerminkan aspirasi internasional yang luas," katanya.
Hampir 100 negara, termasuk China, ikut mensponsori rancangan resolusi yang diajukan oleh UEA, mewakili negara-negara Arab, ungkap Mao, seraya menyebutkan bahwa China menyesal dan kecewa dengan veto AS, yang merupakan satu-satunya veto terhadap resolusi tersebut.
Juru bicara itu menyebutkan bahwa membiarkan konflik berlanjut berarti membiarkan lebih banyak korban sipil dan bencana kemanusiaan yang lebih besar, serta akan menabur lebih banyak benih kebencian.
"Mengenai isu perang dan perdamaian, hidup dan mati, negara-negara besar yang memiliki pengaruh perlu memainkan peran konstruktif dalam membantu mengakhiri konflik, melakukan upaya terbaik untuk menghindari korban sipil, serta berdiri di sisi perdamaian dan sisi kehidupan," imbuh Mao.
Baca juga: Indonesia tegas dukung Palestina pada peringatan ke-75 Deklarasi HAM PBB
Baca juga: Palestina: Veto Amerika Serikat atas gencatan senjata kemanusiaan di Gaza adalah 'bencana'