Jakarta (ANTARA) - Pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia dan Pasifik diproyeksikan tetap kuat, meskipun risiko-risiko terhadap prospek tersebut meningkat, menurut laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang dirilis pada Rabu.
Asian Development Outlook September 2023 memperkirakan negara-negara berkembang di kawasan ini akan tumbuh sebesar 4,7 persen tahun ini, sedikit direvisi turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,8 persen. Perkiraan pertumbuhan untuk tahun depan dipertahankan pada 4,8 persen.
Laporan tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan di kawasan ini cukup baik pada paruh pertama tahun ini, didorong oleh pembukaan kembali China, permintaan domestik yang sehat, peningkatan pariwisata, pengiriman uang yang kuat, dan kondisi keuangan stabil, bahkan ketika prospek global yang lebih lemah mengurangi permintaan ekspor.
Laporan tersebut memperkirakan pertumbuhan China sebesar 4,9 persen tahun ini dari 5,0 persen pada laporan April, menunjukkan kepercayaan ADB terhadap kesehatan negara anggota ekonomi terbesarnya.
Pariwisata yang membaik, sektor jasa yang tangguh, transfer uang yang sehat ke kawasan ini, dan membaiknya kondisi keuangan semuanya membantu mendukung kegiatan ekonomi, dan inflasi sedang surut di sebagian besar negara setelah mencapai puncaknya tahun lalu.
"Negara-negara berkembang di Asia terus tumbuh dengan pesat, dan tekanan inflasi mulai berkurang," kata Kepala Ekonom ADB Albert Park pada konferensi pers.
Di antara sub kawasan berkembang di Asia, perkiraan pertumbuhan Asia Tenggara turun menjadi 4,6 persen tahun ini dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,7 persen karena melemahnya permintaan ekspor; Asia Selatan juga diturunkan sebesar 0,1 poin persentase menjadi 5,4 persen; Asia Timur dipangkas menjadi 4,4 persen dari 4,6 persen.
Laporan tersebut menaikkan perkiraan pertumbuhan untuk Kaukasus dan Asia Tengah menjadi 4,6 persen, dan Pasifik menjadi 3,5 persen.
Namun, laporan tersebut memperingatkan bahwa tingginya suku bunga global telah meningkatkan risiko ketidakstabilan keuangan. Gangguan pasokan yang terjadi secara sporadis akibat konflik Rusia-Ukraina yang terus berlanjut, pembatasan ekspor, dan peningkatan risiko kekeringan dan banjir yang disebabkan oleh El Nino sekali lagi dapat memicu kenaikan harga pangan dan menantang ketahanan pangan.
Park mengatakan bahwa beberapa bank sentral di kawasan ini sudah mulai menurunkan suku bunga, yang akan membantu meningkatkan pertumbuhan. Pemerintah perlu mewaspadai berbagai risiko yang dihadapi kawasan ini, dan memperingatkan bahwa risiko-risiko negatif terhadap prospek ekonomi global semakin meningkat, tambah Park.
Inflasi diperkirakan akan terus menurun menuju tingkat sebelum pandemi, dari 4,4 persen pada tahun 2022 menjadi 3,6 persen tahun ini dan 3,5 persen tahun depan, kata Park.
"Hal ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya inflasi di China, serta stabilnya harga pangan dan energi,” kata laporan tersebut.
Baca juga: ADB harap tata kelola BUMN bisa ditingkatkan
Baca juga: ADB perkirakan pembukaan kembali China cerahkan prospek pertumbuhan Asia 2023
Berita Lainnya
Lemkapi minta seluruh kapolda bantu Kementan untuk capai swasembada pangan
27 April 2024 16:32 WIB
Nicholas Saputra mengaku belajar banyak dari serial "Secret Ingredient"
27 April 2024 16:03 WIB
LPAI serukan pemerintah blokir gim daring yang mengandung unsur kekerasan
27 April 2024 15:50 WIB
Ganda putri Lanny/Ribka gandakan keunggulan Indonesia atas Hong Kong
27 April 2024 15:40 WIB
Oppo A60 hadir dengan Snapdragon 680 dan kamera utama 50 MP
27 April 2024 15:33 WIB
Tim SAR perluas pencarian penumpang yang jatuh dari KMP Reinna
27 April 2024 15:27 WIB
Anies Baswedan hormati langkah PKB dan NasDem gabung koalisi Prabowo-Gibran
27 April 2024 15:14 WIB
Houthi akui anggotanya serang kapal tanker Inggris dan tembak jatuh drone AS
27 April 2024 15:07 WIB