Tunisia (ANTARA) - Uni Eropa dan Tunisia pada Minggu (16/7) menandatangani pakta "kemitraan strategis", yang antara lain mencakup upaya menghentikan perdagangan manusia dan memperketat perbatasan.
Pakta itu diteken saat meningkatnya arus perahu yang berangkat dari negara di Afrika Utara itu menuju Eropa.
Kesepakatan dicapai setelah adanya pembicaraan selama beberapa pekan, juga setelah Eropa menyatakan janji menjadi penyumbang utama bagi Tunisia dengan menyediakan bantuan senilai satu miliar euro (Rp16,33 triliun).
Dana itu disediakan untuk membantu Tunisia menangani ekonominya yang sedang babak belur, mengamankan keuangan negara, dan menangani krisis migran.
Sebagian besar dana tersebut akan tergantung kepada reformasi ekonomi yang dijalankan negara itu.
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengatakan dalam Twitter bahwa pakta tersebut berisi perjanjian menyangkut langkah mengacaukan model bisnis para penyelundup manusia.
Selain itu, katanya, pakta ditujukan untuk memperkuat pengendalian perbatasan dan meningkatkan pendaftaran serta pemulangan para migran.
"Semua langkah yang penting untuk meningkatkan upaya menghentikan migrasi yang tidak beraturan," kata Rutte.
Kepala Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan blok ini akan mengalokasikan 100 juta euro (Rp1,63 triliun) untuk membantu Tunisia memerangi migrasi ilegal.
Kesepakatan tersebut dapat mendorong stabilitas makro ekonomi, perdagangan dan investasi, transisi energi bersih, serta imigrasi legal.
"Kami sangat senang, ini adalah langkah penting berikutnya dalam menuju pembentukan kemitraan sejati antara Tunisia dan Uni Eropa, yang bisa menangani krisis migrasi secara terintegrasi," kata PM Italia Giorgia Meloni.
Italia sendiri terpukul oleh peningkatan tajam arus kedatangan perahu-perahu migran.
Meloni mengatakan sebuah konferensi internasional tentang migrasi akan diselenggarakan di Roma, Italia, pekan depan dan akan dihadiri sejumlah kepala negara, termasuk Presiden Tunisia Kais Saied.
Ribuan migran Afrika yang tanpa surat izin memenuhi Kota Sfax di Tunisia dalam beberapa bulan belakangan ini.
Mereka berusaha berangkat menuju Eropa dengan menggunakan perahu-perahu yang disediakan para penyelundup orang.
Keberadaan para migran itu telah menyebabkan krisis migrasi terburuk yang pernah dihadapi Tunisia.
Menurut data resmi, hingga 14 Juli jumlah migran yang tiba di Italia dengan menggunakan perahu sudah 75.065 orang.
Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun lalu sebanyak 31.920 orang.
Lebih dari setengah jumlah migran tersebut berangkat dari Tunisia. Jumlah itu juga lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berangkat dari Libya yang biasanya menjadi lokasi utama keberangkatan.
Bulan ini, Saied mengatakan negaranya akan menjadi penjaga perbatasan bagi Eropa.
Baca juga: Indosat targetkan seluruh jaringan sudah selesai migrasi ke 4G pada 2023
Baca juga: Kolombia dan AS akan gelar konferensi migrasi pada kuartal pertama 2023
Sumber: Reuters