Kiara Kecam Jaring Trawl Di Perairan Bengkalis

id kiara kecam jaring trawl di perairan bengkalis

 Kiara Kecam Jaring Trawl Di Perairan Bengkalis

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) Selamet Daroyni mengecam beroperasinya pukat harimau (trawl) di perairan Bengkalis karena merusak lingkungan hidup pesisir dan hilangnya pendapatan nelayan tradisional.

Alat tangkap trawl telah dipergunakan di perairan Bengkalis sejak 1983. Puncaknya, pada tahun 2006 nelayan tradisional setempat semakin tidak dapat mengendalikan kemarahan mereka yang berujung pada konflik dan tindak kekerasan dengan pemilik dan anak buah kapal jaring batu," katanya dalam surat elektroniknya yang diterima Antara Riau, Selasa.

Ia mengatakan hal itu terkait laporan adanya lima orang nelayan meninggal dunia dan puluhan warga luka-luka dalam kekerasan di laut akibat beroperasinya trawl.

Lamban dan lemahnya perhatian pemerintah dalam tata kelola dan pengawasan serta penegakan hukum di laut menjadi faktor utama pemicu kerusakan lingkungan perairan, ujarnya.

Menurut dia, sejak 2006, pengoperasian jaring batu/dasar sampai dengan hari ini masih terus terjadi.

Ia menyebutkan sekitar 2.000 nelayan tradisonal yang berada di empat desa, yaitu Jangkang, Selat Baru, Bantan Air dan Pambang, sangat dirugikan oleh beroperasinya trawl.

"Saat ini nelayan tradisional seringkali tidak mendapatkan hasil tangkapan ikan. Bahkan mereka tidak jarang pulang melaut dengan tangan hampa," katanya dan menambahkan, kondisi ini memicu tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, sehingga tidak sedikit dari keluarga nelayan harus beralih profesi dan menjadi tenaga kerja (TKI) di Malaysia.

Untuk itu, Kiara, atas laporan langsung dari Serikat Nelayan Kecamatan Bantan (SNKB), melayangkan surat desakan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan yang ditembusankan ke berbagai pihak terkait, untuk mengambil langkah tegas dan cepat untuk menghentikan pengoperasian trawl.

"Alat tangkap trwal ini perlu segera dihentikan, dan pelakunya diancam pidana lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp2 miliar sesuai Keputusan Presdien No.39 tahun 1980 tentang penghapusan jaringan trawal sebagai jawaban konflik berdarah alat tangkap trawal di Sumut.