BEM se-Riau kesepahaman UU Ciptaker, 84 perusahaan perkebunan di Riau belum kantongi izin HGU

id BEM Se-Riau ,Penyelesaian usaha dalam kawasan hutan

BEM se-Riau kesepahaman UU Ciptaker, 84 perusahaan perkebunan di Riau belum kantongi izin HGU

BEM Se-Riau saat melakukan kesepahaman penerapan UU Cipta Kerja. (ANTARA/dok)

Penyelesaian keterlanjuran tersebut dengan menerapkan Ultimum Remedium, yaitu akan menerapkan denda,
Pekanbaru (ANTARA) - Undang Undang Cipta Kerja (UU CK) Nomor 11 Tahun 2020, khususnya pasal 110A dan 110B yang telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2021 secara eksplisit mengatur perkebunan kelapa sawit yang tidak memiliki perizinan di bidang Kehutanan yang telah ada sebelum UU ini tidak dapat dikenakan sanksi pidana, tetapi berlaku asas ultimum remedium.

Perusahaan tersebut, dijelaskan Rahardjo, khusus kategori pasal 110A UUCK diberikan kesempatan menyelesaikan pengurusan perizinan di bidang Kehutanan dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

"Pada pasal 110 A, perusahaan diberikan kesempatan untuk menyelesaikan persoalan mulai dari mengurus perizinan hingga membayar PSDH-DR" ungkapAsisten Intelijen Kejaksaan Tinggi (Kejati) RiauRahardjoBudi Kisnantosaat menjadi narasumber Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Riau, Sabtu (26/11) di Gedung Pustaka Universitas Lancang Kuning.

Rahardjo Budi Kisnato menyebutkansaat ini terdapat 84 perusahaan perkebunan di Riau yang belum mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU). UU CK pada Pasal 110 A dan Pasal 110B, menjelaskan, seluruh kegiatan aparat kepolisian dan kejaksaan dibatasi penindakannya kepada perusahaan.

Di dalam UUCK diatur penyelesaian keterlanjuran kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan. Ini diturunkan regulasinya melalui PP 24 tahun 2021. Kementerian LHK menyatakan, penyelesaian keterlanjuran tersebut dengan menerapkan Ultimum Remedium, yaitu akan menerapkan denda kepada semua subjek hukum yang memiliki kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan.

Ada dua tipe kegiatan usaha tanpa izin yang diatur penyelesaiannya. Pertama, kegiatan usaha yang telah memiliki izin lokasi dan atau izin usaha perkebunan dan sesuai tata ruang, tetapi tidak memiliki izin bidang kehutanan, sesuai pasal 110 A UUCK.

Kemudian, kegiatan usaha tanpa izin lokasi dan izin usaha serta tidak memiliki izin bidang kehutanan, sesuai pasal 110 B UUCK.

Adapun rumus penghitungan sanksi denda antara lain, untuk tipe pertama Pasal 110 A UUCK berupa pembayaran PSDH DR. Sedangkan, tipe kedua pasal 110 B UUCM berupa pembayaran denda berdasarkan rumus = luas kegiatan usaha tanpa izin dikalikan jangka waktu usaha (tahun) dikali dengan keuntungan bersih per hektare per tahun dari kegiatan usaha

Rahardjo meminta masyarakat untuk tidak perlu takut dengan UUCK pasal 110A dan 110B.

"Kita tidak perlu berseteru dengan UUCK, karena ada aplikasi Online Single Submission (OSS). Apa yang dibutuhkan tertera disana semua karena mempermudah perizinan," terangnya.

Pada intinya, ia mengimbau masyarakat untuk tidak perlu khawatir. Kejati Riau telah membentuk tim terpadu bertugas menyelesaikan persoalan sengketa lahan di kawasan hutan.

"Kita sudah bentuk tim terpadu dari seluruh OPD terkait. Jangan hanya kepolisian dan kejaksaan. Kalau hanya kejaksaan dan kepolisian tidak akan selesai," jelasnya.

Sementara itu, Ketua DPD Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Riau Suryadi, mengatakan dua pasal di atas merupakan upaya terakhir dari proses penegakan hukum pidana.

"Pemerintah harus bekerja sama melihat ini. Jika tidak kita bisa rugi dua kali, lahan hutan Riau dieksploitasi dua kali," papar Suryadi

Suryadi meminta kepada seluruh OPD terkait mengawal kasus sengketa lahan sehingga proses ini dapat diketahui secara transparan dan akuntabel, serta upaya hukum dan penindakannya.

"Seperti pada 2015 ke bawah, setiap tahun dihadiahi bencana kabut asap karena eksploitasi hutan, ke depan kita tidak berharap hal itu terulang kembali," harapnya.

Kepolisian Kehutanan DLHK Riau, Agus Suryoko, mengatakan setidaknya ada 5,39 juta hektare luas hutan di Riau sudah berisi perkebunan baik skala besar dan skala kecil.

Terkait adanya sengketa lahan, terutama di dalam kawasan hutan, ada ketentuan pasal serta ada mekanisme penyelesaian.

"Kita telah berupaya meminimalisir illegal logging, namun saat sekarang illegal logging masih maraknya di Riau serta persoalan lahan. Ini butuh kerjasama kita semua," pungkasnya.

Di akhir diskusiBEM Se-Riau membacakan butir-butir kesepahaman berisikan:

1. Memahami dan mendukung penegakan hukum berdasarkan UUCK terhadap keterlanjuran kegiatan usaha dalam kawasan hutan (seperti perkebunan sawit) dengan menerapkan asas Ultimum Remedium atau penerapan sanksi pidana menjadi upaya terakhir.

2. Memahami keterlanjuran kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan di Riau terluas di Indonesia, 1,4 juta hektare. Pemerintah harus melakukannya dengan transparan, profesional dan tidak boleh tebang pilih serta harus bebas KKN.

3. Berkomitmen menentang dan mengutuk oknum-oknum mengatasnamakan mahasiswa dan pemuda diduga disponsori oleh oknum tak bertanggungjawab.

4. Memahami dan mendukung penerapan UUCK sebagai upaya pemerintah pusat dan daerah menjaga iklim investasi di Indonesia dan khususnya di Riau.

5. Mendukung dan mendorong agar Kementerian LHK, Kepolisian Daerah Riau, Kejaksaan Tinggi Riau, dan Pemerintah Provinsi Riau selalu bersikap profesionalterkait penyelesaian usaha tanpa izin dalam kawasan hutan.

7. Memahami bahwa penerapan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam penyelesaian suatu kasus kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan hanya bisa diterapkan dalam hal telah ada tindak pidana asal (predicate crime) terlebih dahulu.