Jenewa (ANTARA) - Sebanyak 11 hingga 19 juta lebih orang berpotensi mengalami kelaparan akibat terdampak konflik Rusia dengan Ukraina.
Juru Bicara FAO Boubaker Ben Belhassen dikutip Xinhua pada Jumat mengatakan kedua negara terlibat perang merupakan produsen terbesar komoditas pertanian di dunia dengan persentase ekspor gandum sebesar 30 persen.
Menurut dia, sejumlah negara yang paling terdampak oleh konflik berada di kawasan Afrika Utara.
Juru bicara tersebut menuturkan harga pangan internasional yang lebih tinggi diproyeksikan akan meningkatkan tagihan impor pangan global ke rekor 1,8 triliun dolar AS pada 2022.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga memperingatkan bahwa konflik tersebut dapat memicu kekacauan sosial dan ekonomi di seluruh dunia.
Ketika konflik tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda, para pemimpin negara Eropa berbeda pendapat terkait penjatuhan sanksi terhadap Rusia, jelas dia.
Selain itu Presiden Serbia Aleksandar Vucic dan Kanselir Jerman Olaf Scholz yang tengah berkunjung ke Serbia pada Jumat (10/6) gagal mencapai kesepakatan terkait perlunya menjatuhkan sanksi terhadap Rusia setelah diskusi mereka soal krisis Ukraina.
Dalam konferensi pers, Vucic mengungkapkan bahwa Scholz secara tegas, jelas dan tajam telah meminta Serbia untuk bergabung dengan sanksi Barat terhadap Rusia, dan bahkan menawarkan bantuan untuk pembangunan kapasitas energi.
Dia menyatakan bahwa Serbia memiliki posisi berbeda dalam hal keperluan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pada Jumat bertemu dengan Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace untuk membahas dukungan bagi Ukraina.
Wallace berjanji Inggris akan melanjutkan bantuan pertahanan untuk Kiev dan menekankan pentingnya memulihkan integritas wilayah Ukraina.
Baca juga: Ukraina minta banyak senjata ke barat, penyakit kolera merebak di Mariupol
Baca juga: Ukraina klaim pasukannya berhasil menangkis serangan Rusia di wilayah timur