Jakarta, (antarariau.com) - Anggota Komisi X asal fraksi Partai Golkar Kahar Muzakir mengklarifikasi mengenai dokumen yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus korupsi penerimaan hadiah dalam pembangunan venue Pekan Olahraga Nasional dengan tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal.
"Ya (dokumen) itu ditanya semua, cuma soal apa yang ditanya tidak bagus kalau saya katakan di sini," kata Kahar seusai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekitar 9 jam di Jakarta, Rabu.
Pada Selasa (19/3), KPK menggeledah empat tempat untuk mencari jejak tersangka Rusli Zainal yaitu di ruang kerja Ketua Fraksi Partai Golkar di gedung DPR Setya Novanto, ruang anggota fraksi Kahar Muzakhir, PT Findomuda yang bergerak di bidang desain interior di Jalan Gandaria Tengah Jakarta Selatan dan rumah Rusli di Jalan Pulo Panjang di Kembangan Jakarta Barat.
Dalam penggeledahan itu, KPK menyita sejumlah dokumen, termasuk dari ruangan Kahar.
"Kalau dokumen tentang pertemuan PON Riau, saya kira tidak begitu, yang ditanya adalah masalah proses penganggaran, kalau dokumen yang disita hanya dikonfirmasi," kata Kahar menambahkan.
Terkait proses penganggaran, Kahar yakin anggaran PON Riau sudah sesuai mekanisme.
"Sudah saya jelaskan, tidak ada yang salah dalam proses penganggaran," ungkap Kahar singkat.
Ia pun mengaku tidak menerima uang yang diberikan oleh mantan staf ahli Gubernur Riau Lukman Abbas.
"Itu (masalah pemberian uang) sudah clear di persidangan, sudah dikonfrontir, Lukman sendiri mengatakan tidak ada," tambah Kahar.
Anggota bidang hukum DPP Partai Golkar Rudy Alfonso yang menunggu Kahar dalam menjalani pemeriksaan di KPK mengatakan bahwa Kahar diperiksa terkait perannya sebagai anggota badan anggaran DPR.
"Beliau anggota banggar, dia menjelaskan terkait dana yang disebut-sebut Rp290 miliar, dia menjelaskan itu tidak pernah ada, tidak pernah dibahas, apalagi realisasi, jadi kaitannya soal pernyataan Lukman menyuap 1,050 juta dolar AS untuk apa? Karena logikanya ada perbuatan menyuap dan penerima suap, tapi untuk sesuatu yang tidak ada, itu KPK sendiri yang menentukan," kata Rudy
Nama Setya Novanto dan Kahar Muzakir disebut oleh mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau Lukman Abbas dalam sidang di pengadilan Tipikor Riau.
Lukman mengaku menyerahkan uang 1.050.000 dolar AS (sekitar Rp9 miliar) kepada Kahar Muzakhir sebagai langkah permintaan bantuan PON dari dana APBN Rp290 miliar.
Pada awal Februari 2012, Lukman mengaku menemani Gubernur Riau Rusli Zainal untuk mengajukan proposal bantuan dana APBN untuk keperluan PON melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga senilai Rp290 miliar.
Proposal itu disampaikan Rusli kepada Setya Novanto dan pasca pertemuan dengan Setya Novanto, Lukman diminta menyerahkan uang kepada Kahar Muzakhir.
Menurut Lukman, ia datang ke kantor Kahar di gedung DPR di lantai 12, namun bukan Kahar yang menerima uang.
Uang 850.000 dolar AS diserahkan oleh sopir Lukman kepada Acin, ajudan Kahar di lantai dasar Gedung DPR, selebihnya 200.000 dolar AS diberikan melalui Dicky dan Yudi dari Konsorsium Pembangunan Stadion Utama PON.
Dalam kasus ini KPK telah menetapkan 14 orang tersangka, 10 di antaranya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau.
Tiga orang telah divonis yaitu Faisal Aswan dari fraksi Golkar dan M Dunir dari fraksi PKB dan mantan Wakil Ketua DPRD Riau asal fraksi PAN Taufan Andoso yakin yang seluruhnya dihukum 4 tahun penjara.
Sedangkan pihak pemerintah yang juga ditetapkan KPK sebagai adalah Gubernur Riau Rusli Zainal, mantan staf ahli Gubernur Riau Lukman Abbas yang sebelumnya menjabat Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Olahraga pada Dispora Riau Eka Dharma Putri, dan pegawai PT Pembangunan Perumahan (PP) Rahmat Syaputra.
Lukman Abbas pada Rabu (13/3) telah divonis lima tahun dan enam bulan penjara dan denda sebesar Rp200 juta subsider hukuman kurungan selama tiga bulan karena terbukti melakukan suap kepada anggota DPRD Riau sebesar Rp900 juta dan menerima dana untuk pribadi sebesar Rp700 juta dari kontraktor PT Adhi Karya dan kontraktor kerja sama operasi (KSO) proyek PON.
Pada kasus tersebut, anggota DPRD M Dunir merupakan Ketua Pansus revisi Perda PON, sedangkan Faisal adalah yang menerima titipan uang senilai Rp900 juta dari pihak kontraktor yang diduga sebagai uang jasa (uang lelah) dalam penuntasan revisi perda yang dominan adalah untuk penambahan anggaran pada PON lalu.
Sebagai imbal balas atas hadiah itu, Taufan dan rekan-rekannya berjanji bakal mengesahkan rencana revisi Perda tentang Perubahan Perda Nomor 6/2010 yakni Pengikatan Dana Anggaran Kegiatan Tahun Jamak untuk pembangunan arena menembak dan stadion utama PON XVIII Provinsi Riau.
Perda yang akan direvisi ada dua, yakni Perda No 6 dan Perda No 5, bila revisi perda pertama lolos, pihak perusahaan atas perintah Pemprov Riau melalui Kadispora, Lukman Abbas waktu itu, akan memberikan kembali Rp900 juta dengan total Rp1,8 miliar.
Saat pemberian uang suap itu, KPK langsung menangkap basah Faisal yang menerima uang di rumahnya, pada kawasan Simpang Tiga, Pekanbaru.