Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menilai selama 20 tahun terakhir perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat jauh lebih cepat dan besar ketimbang reformasi politik.
"Penyebabnya, kondisi struktural dengan bonus demografi lalu terbentuknya kelas menengah baru yang jumlahnya cukup banyak," kata dia saat menjadi pembicara kunci pada diskusi virtual bertajuk demokrasi Indonesia di simpang jalan? melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Menkumham Yasonna Laoly secara resmi serahkan SK badan hukum Partai Gelora
Selain bonus demografi, salah satu pendiri Partai Keadilan yang kini bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menilai tren pertumbuhan populasi urban serta infiltrasi global juga turut serta mempengaruhi.
"Meski begitu, reformasi ketatanegaraan juga bisa menciptakan keseimbangan baru dan stabilitas politik Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia," ujar politisi kelahiran Bone, Sulawesi Selatan 7 Desember 1969 tersebut.
Dalam pembuka diskusi, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, memaparkan tentang situasi demokrasi di Tanah Air yang kini terus berubah ditandai dengan fenomena banyaknya partai politik baru muncul.
"Oleh sebab itu sebetulnya turut memperkaya khasanan demokrasi di Indonesia dengan segala perisfiwa politik terjadi, apalagi pada saat pandemi Covid-19 sekarang yang membuat jadi terbatas," ucap Hery.
Pembicara lainnya yang juga merupakan Wakil Ketua Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah menilai saat ini elite di Tanah Air tidak menunjukkan keseriusan berdemokrasi.
Menurut dia, kondisi tersebut terjadi akibat terlalu lamanya Indonesia dalam kungkungan sistem politik kerajaan sekaligus mengalami masa yang disebutnya kolonialisme imperialisme.
"Cita rasa, kebebasan melemah dan harus mengikuti maunya negara sedang terjadi di Indonesia," kata eks Wakil Ketua DPR RI tersebut.
Sementara itu, pengamat politik sekaligus Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Komaruddin Hidayat mengatakan proses demokrasi di Indonesia terlalu mengikat dan normatif karena menerapkan referensi dari barat.
"Jadinya demokrasi di Indonesia lebih dekat ke informasi untuk memengaruhi opini masyarakat," ujarnya.
Informasi yang disampaikan tersebut bertemu dengan realitas di tengah masyarakat yang pluralis dan religius. Terkadang hal itu bisa sinkron namun juga kerap berbenturan, ujar Komaruddin.
Pembicara lainnya, pakar politik internasional Imron Cotan mengatakan demokrasi seharusnya memberikan apa yang menjadi kepentingan rakyat.
"Saat ini Indonesia baru dalam eksperimen demokrasi. Harus hati-hati. Cita rasa demokrasi harus terus dilembagakan supaya tidak kembali masa lalu saat orde lama dan orde baru," kata dia.
Terakhir, ia mengingatkan jangan sampai menganggap demokrasi adalah jawaban dari semua masalah politik negara. Indonesia harus berada di tengah untuk terus melakukan moderasi.
Baca juga: Anis Matta - Fahri Hamzah disebut-sebut dirikan Partai Gelombang Rakyat atau Gelora
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Berita Lainnya
UNIFIL berduka atas tewasnya petugas penjaga perdamaian akibat tabrakan di Lebanon
16 November 2024 16:25 WIB
Indonesia mulai integrasikan bioenergi dan CCS guna kurangi emisi karbon
16 November 2024 16:10 WIB
Presiden China Xi Jinping ajak anggota APEC promosikan ekonomi inklusif
16 November 2024 15:57 WIB
Mike Tyson kalah dari Paul Jake dalam pertarungan selama delapan ronde
16 November 2024 15:49 WIB
BPBD DKI sebut genangan banjir rob di Jakarta Utara mulai berangsur turun
16 November 2024 15:25 WIB
Ketua MPR Ahmad Muzani lelang 1 ton sapi untuk disumbangkan korban Gunung Lewotobi
16 November 2024 15:10 WIB
Presiden Prabowo: APEC harus jadi model solidaritas dan kolaborasi Asia Pasifik
16 November 2024 14:49 WIB
Nelayan di Flores Timur NTT mulai lakukan aktivitas memancing
16 November 2024 14:01 WIB