Upaya peningkatan kualitas pendidikan dengan peniadaan pelaksanaan Ujian Nasional
Jakarta (ANTARA) - Pelaksanaan ujian nasional (UN) kembali ditiadakan untuk kedua kalinya dengan diterbitkannya surat edaran Surat Edaran Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang Peniadaan Ujian Naisonal dan Ujian Kesetaraan Serta Pelaksanaan Ujian Sekolah Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) pada 1 Februari 2021.
Dengan demikian, peniadaan UN tersebut sudah dilakukan selama dua tahun. Pada 2020 juga ditiadakan dengan alasan kondisi pandemi COVID19. Memang sejak awal menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menegaskan akan menghapus UN. Alasannya UN kurang ideal untuk mengukur prestasi belajar siswa.
Gagasan peniadaan UN itu sendiri sebenarnya sudah digagas oleh Mendikbud periode sebelumnya yakni Muhadjir Effendy. Pelaksanaan UN dinilai kurang tepat dan menghamburkan anggaran, sementara hasil UN yang dilakukan setiap tahun itu juga tidak digunakan oleh daerah.
Akan tetapi gagasan itu ditolak oleh Wakil Presiden yang saat itu dijabat oleh Jusuf Kalla. Alasannya siswa harus bekerja keras dalam belajar, penghapusan UN dianggap akan menciptakan generasi muda yang lembek. UN dianggap Jusuf Kalla sebagai bagian penting dari sebuah proses pembelajaran.
UN sejatinya sejak 2015, tidak lagi memiliki “taji” karena tidak mempengaruhi kelulusan. Alasannya, Mendikbud saat itu yakni Anies Baswedan menjadikan UN bukan lagi sebagai penentu kelulusan dan menyerahkan kewenangan kelulusan siswa pada sekolah. Untuk pertama kalinya, UN pun dilakukan melalui komputer.
Baca juga: Ikuti Nadiem, Disdik Riau tiadakan UN tahun ini
Beda halnya saat UN pertama kali dikenalkan pada periode 2002 hingga 2004 dengan nama ujian akhir nasional (UAN) yang menjadi prasyarat kelulusan, tanpa mempertimbangkan nilai rapor.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengapresiasi penghapusan UN oleh Mendikbud Nadiem Makarim tersebut.
“UN memang dianggap mengganggu dan menjadi momok yang menakutkan bagi siswa kita. Hasil UN juga terbukti tidak mampu memotret kondisi pendidikan secara utuh,” katanyan.
Sejak belasan tahun yang lalu, UN dikritik para pegiat pendidikan karena memberikan dampak tidak baik bagi psikologis siswa dan juga banyak catatan hitam pada setiap pelaksanaannya.
Mulai dari orkestrasi ketidakjujuran yang melibatkan sekolah, guru hingga siswa setiap pelaksanaan UN, hingga tekanan pemerintah daerah (Pemda) agar sekolah meraih nilai UN tinggi karena terkait dengan gengsi daerah.
Satriwan menjelaskan meski sudah ditiadakan oleh Mendikbud dengan adanya edaran tersebut, akan tetapi secara hukum masih bermasalah. Ia merujuk dalam PP No 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) masih terdapat istilah UN. Dengan kata lain, pelaksanaan UN masih tetap ada.
“Untuk itu perlu adanya perubahan pada PP tersebut karena dalam PP kewajiban UN tersebut masih ada,” katanya.
Lalu bagaimana dengan jaminan kualitas pendidikan tanpa adanya UN? Satriwan menambahkan bahwa UN juga tidak menjamin kualitas pendidikan jika pelaksanaannya diwarnai dengan ketidakjujuran.
Dalam surat edaran Mendikbud terbaru itu dijelaskan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan atau program pendidik setelah menyelesaikan program pembelajaran pada masa pandemi COVID-19, yang dibuktikan dengan rapor tiap semester, memperoleh nilai sikap atau perilaku minimal baik, dan mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan.
Ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan dilaksanakan dalam bentuk berikut yakni portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap atau perilaku, dan prestasi yang diperoleh sebelumnya, penugasan, tes secara luring atau daring, dan atau bentuk kegiatan penilaian lain yang ditetapkan oleh satuan pendidikan. Begitu juga untuk peserta didik penyetaraan.
Selain ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan, maka peserta didik SMK juga dapat mengikuti ujian kompetensi keahlian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Jadi ada tiga cara, pertama adalah nilai rapor karena ini merupakan penilaian otentik selama periode pembelajaran. Kedua adalah ujian sekolah yang dikelola secara madiri oleh satuan pendidikan dan ketiga adalah sikap siswa selama pembelajaran,” katanya.
Kewenangan kelulusan ditentukan oleh sekolah dan para guru yang mengenal kemampuan siswa selama bersekolah. Oleh karenanya, sekolah harus menjadi laboratorium kejujuran, serta laboratorium transparansi dan akuntabilitas. Nilai-nilai Pancasila hendaknya benar-benar diterapkan di sekolah.
Diganti asesmen nasional
Sebagai gantinya, Kemendikbud akan menyelenggarakan konsep asesmen nasional (AN). Asesmen merupakan pemetaan mutu pendidikan pada seluruh sekolah, madrasah dan program kesetaraan jenjang dasar dan menengah.
Jadwal semula akan diselenggarakan pada Maret 2021 hingga April 2021, namun diundur pada September 2021 hingga Oktober 2021. Simulasi Asesmen Nasional di satuan pendidikan rencananya diselenggarakan pada April hingga Agustus 2021.
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mengatakan penundaan tersebut dikarenakan pandemi COVID-19 yang masih berlangsung dan cenderung meningkat dan juga aspirasi masyarakat untuk belajar dari rumah.
“Penundaan tersebut bertujuan agar persiapan pelaksanaan AN lebih optimal dan penerapan protokol kesehatan harus dilakukan secara ketat,” katanya.
AN berbeda dengan UN. AN hanya diikuti sebagian atau sampel siswa yang dipilih secara acak dari kelas 5 SD, 8 SMP dan 11 SMA di setiap sekolah atau madrasah. AN 2021 digunakan sebagai "baseline" tanpa konsekuensi pada guru, sekolah dan pemda.
Pelaksanaan AN terdiri dari tiga aspek penilaian yakni asesmen kompetensi minimum, survei karakter dan survei lingkungan belajar. Survei karakter memang sulit diukur secara mendalam dalam asesmen berskala besar, namun survei karakter dapat memberi informasi berharga tentang sikap, nilai dan kebiasaan yang mencerminkan profil Pancasila. Survei karakter memberi sinyal bahwa sekolah perlu memperhatikan tumbuh kembang siswa secara utuh, mencukupi dimensi kognitif, afektif dan spiritual.
Pelaksanaan AN dilakukan di semua sekolah dan evaluasi kinerja tidak hanya berdasarkan skor rerata tetapi juga perubahan skor atau tren dari satu tahun ke tahun berikutnya. AN diselenggarakan setiap tahun dan dilaporkan pada setiap sekolah/madrasah atau pemda.
Hasil AN tersebut, tidak akan menambah beban siswa kelas 6,9 dan 12 dan tidak dapat digunakan untuk PPDB. Hasil AN dapat ditindaklanjuti oleh sekolah dan AN bukan evaluasi individu siswa.
Pelaksanaan AN juga bertujuan untuk mengetahui kondisi pendidikan, termasuk dampak pandemi COVID-19 terhadap pelaksanaan kegiatan pendidikan.
Jika tidak melakukan AN, lanjut Nadiem, maka dampaknya akan sangat dramatis. Melalui AN dapat mengetahui kondisi pendidikan akibat pandemi COVID-19, mengetahui seberapa besar siswa kehilangan kesempatan belajar.
Tanpa adanya AN pula, pemerintah tidak bisa memetakan kondisi pendidikan, termasuk sekolah-sekolah yang tertinggal dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Maka akan sulit mengetahui mana sekolah yang tertinggal dan mana yang tidak.
Selain itu, pemerintah akan kesulitan membuat strategi penganggaran serta strategi bantuan untuk sekolah yang paling membutuhkan.
Pelaksanaan asesmen pun akan dilakukan secara bertahap pada setiap jenjang guna memungkinkan sekolah berbagi sumber daya.
Sekolah-sekolah dengan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi belum memadai dapat menyelenggarakan asesmen di satuan pendidikan lain yang infrastrukturnya lebih memadai.
Pemerhati pendidikan, Ina Liem , menilai AN akan membawa perubahan besar bagi dunia pendidikan di Tanah Air. Mulai dari pemerataan kualitas pendidikan hingga kualitas tenaga pendidik.
Siswa tidak lagi diuji berdasarkan soal-soal berbentuk hafalan, melainkan soal yang mengasah literasi dan numerasi. AN juga bisa membawa kualitas pelajar Indonesia naik tingkat. Tidak hanya jago hafalan, tapi juga cepat memahami yang akhirnya jago menganalisis.
Baca juga: DPR dan Kemendikbud sepakat tiadakan Ujian Nasional
Baca juga: Riau keluarkan aturan ketat pelaksanaan UN untuk cegah virus Corona, begini penjelasannya
Oleh Indriani
Dengan demikian, peniadaan UN tersebut sudah dilakukan selama dua tahun. Pada 2020 juga ditiadakan dengan alasan kondisi pandemi COVID19. Memang sejak awal menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menegaskan akan menghapus UN. Alasannya UN kurang ideal untuk mengukur prestasi belajar siswa.
Gagasan peniadaan UN itu sendiri sebenarnya sudah digagas oleh Mendikbud periode sebelumnya yakni Muhadjir Effendy. Pelaksanaan UN dinilai kurang tepat dan menghamburkan anggaran, sementara hasil UN yang dilakukan setiap tahun itu juga tidak digunakan oleh daerah.
Akan tetapi gagasan itu ditolak oleh Wakil Presiden yang saat itu dijabat oleh Jusuf Kalla. Alasannya siswa harus bekerja keras dalam belajar, penghapusan UN dianggap akan menciptakan generasi muda yang lembek. UN dianggap Jusuf Kalla sebagai bagian penting dari sebuah proses pembelajaran.
UN sejatinya sejak 2015, tidak lagi memiliki “taji” karena tidak mempengaruhi kelulusan. Alasannya, Mendikbud saat itu yakni Anies Baswedan menjadikan UN bukan lagi sebagai penentu kelulusan dan menyerahkan kewenangan kelulusan siswa pada sekolah. Untuk pertama kalinya, UN pun dilakukan melalui komputer.
Baca juga: Ikuti Nadiem, Disdik Riau tiadakan UN tahun ini
Beda halnya saat UN pertama kali dikenalkan pada periode 2002 hingga 2004 dengan nama ujian akhir nasional (UAN) yang menjadi prasyarat kelulusan, tanpa mempertimbangkan nilai rapor.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengapresiasi penghapusan UN oleh Mendikbud Nadiem Makarim tersebut.
“UN memang dianggap mengganggu dan menjadi momok yang menakutkan bagi siswa kita. Hasil UN juga terbukti tidak mampu memotret kondisi pendidikan secara utuh,” katanyan.
Sejak belasan tahun yang lalu, UN dikritik para pegiat pendidikan karena memberikan dampak tidak baik bagi psikologis siswa dan juga banyak catatan hitam pada setiap pelaksanaannya.
Mulai dari orkestrasi ketidakjujuran yang melibatkan sekolah, guru hingga siswa setiap pelaksanaan UN, hingga tekanan pemerintah daerah (Pemda) agar sekolah meraih nilai UN tinggi karena terkait dengan gengsi daerah.
Satriwan menjelaskan meski sudah ditiadakan oleh Mendikbud dengan adanya edaran tersebut, akan tetapi secara hukum masih bermasalah. Ia merujuk dalam PP No 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) masih terdapat istilah UN. Dengan kata lain, pelaksanaan UN masih tetap ada.
“Untuk itu perlu adanya perubahan pada PP tersebut karena dalam PP kewajiban UN tersebut masih ada,” katanya.
Lalu bagaimana dengan jaminan kualitas pendidikan tanpa adanya UN? Satriwan menambahkan bahwa UN juga tidak menjamin kualitas pendidikan jika pelaksanaannya diwarnai dengan ketidakjujuran.
Dalam surat edaran Mendikbud terbaru itu dijelaskan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan atau program pendidik setelah menyelesaikan program pembelajaran pada masa pandemi COVID-19, yang dibuktikan dengan rapor tiap semester, memperoleh nilai sikap atau perilaku minimal baik, dan mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan.
Ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan dilaksanakan dalam bentuk berikut yakni portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap atau perilaku, dan prestasi yang diperoleh sebelumnya, penugasan, tes secara luring atau daring, dan atau bentuk kegiatan penilaian lain yang ditetapkan oleh satuan pendidikan. Begitu juga untuk peserta didik penyetaraan.
Selain ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan, maka peserta didik SMK juga dapat mengikuti ujian kompetensi keahlian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Jadi ada tiga cara, pertama adalah nilai rapor karena ini merupakan penilaian otentik selama periode pembelajaran. Kedua adalah ujian sekolah yang dikelola secara madiri oleh satuan pendidikan dan ketiga adalah sikap siswa selama pembelajaran,” katanya.
Kewenangan kelulusan ditentukan oleh sekolah dan para guru yang mengenal kemampuan siswa selama bersekolah. Oleh karenanya, sekolah harus menjadi laboratorium kejujuran, serta laboratorium transparansi dan akuntabilitas. Nilai-nilai Pancasila hendaknya benar-benar diterapkan di sekolah.
Diganti asesmen nasional
Sebagai gantinya, Kemendikbud akan menyelenggarakan konsep asesmen nasional (AN). Asesmen merupakan pemetaan mutu pendidikan pada seluruh sekolah, madrasah dan program kesetaraan jenjang dasar dan menengah.
Jadwal semula akan diselenggarakan pada Maret 2021 hingga April 2021, namun diundur pada September 2021 hingga Oktober 2021. Simulasi Asesmen Nasional di satuan pendidikan rencananya diselenggarakan pada April hingga Agustus 2021.
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mengatakan penundaan tersebut dikarenakan pandemi COVID-19 yang masih berlangsung dan cenderung meningkat dan juga aspirasi masyarakat untuk belajar dari rumah.
“Penundaan tersebut bertujuan agar persiapan pelaksanaan AN lebih optimal dan penerapan protokol kesehatan harus dilakukan secara ketat,” katanya.
AN berbeda dengan UN. AN hanya diikuti sebagian atau sampel siswa yang dipilih secara acak dari kelas 5 SD, 8 SMP dan 11 SMA di setiap sekolah atau madrasah. AN 2021 digunakan sebagai "baseline" tanpa konsekuensi pada guru, sekolah dan pemda.
Pelaksanaan AN terdiri dari tiga aspek penilaian yakni asesmen kompetensi minimum, survei karakter dan survei lingkungan belajar. Survei karakter memang sulit diukur secara mendalam dalam asesmen berskala besar, namun survei karakter dapat memberi informasi berharga tentang sikap, nilai dan kebiasaan yang mencerminkan profil Pancasila. Survei karakter memberi sinyal bahwa sekolah perlu memperhatikan tumbuh kembang siswa secara utuh, mencukupi dimensi kognitif, afektif dan spiritual.
Pelaksanaan AN dilakukan di semua sekolah dan evaluasi kinerja tidak hanya berdasarkan skor rerata tetapi juga perubahan skor atau tren dari satu tahun ke tahun berikutnya. AN diselenggarakan setiap tahun dan dilaporkan pada setiap sekolah/madrasah atau pemda.
Hasil AN tersebut, tidak akan menambah beban siswa kelas 6,9 dan 12 dan tidak dapat digunakan untuk PPDB. Hasil AN dapat ditindaklanjuti oleh sekolah dan AN bukan evaluasi individu siswa.
Pelaksanaan AN juga bertujuan untuk mengetahui kondisi pendidikan, termasuk dampak pandemi COVID-19 terhadap pelaksanaan kegiatan pendidikan.
Jika tidak melakukan AN, lanjut Nadiem, maka dampaknya akan sangat dramatis. Melalui AN dapat mengetahui kondisi pendidikan akibat pandemi COVID-19, mengetahui seberapa besar siswa kehilangan kesempatan belajar.
Tanpa adanya AN pula, pemerintah tidak bisa memetakan kondisi pendidikan, termasuk sekolah-sekolah yang tertinggal dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Maka akan sulit mengetahui mana sekolah yang tertinggal dan mana yang tidak.
Selain itu, pemerintah akan kesulitan membuat strategi penganggaran serta strategi bantuan untuk sekolah yang paling membutuhkan.
Pelaksanaan asesmen pun akan dilakukan secara bertahap pada setiap jenjang guna memungkinkan sekolah berbagi sumber daya.
Sekolah-sekolah dengan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi belum memadai dapat menyelenggarakan asesmen di satuan pendidikan lain yang infrastrukturnya lebih memadai.
Pemerhati pendidikan, Ina Liem , menilai AN akan membawa perubahan besar bagi dunia pendidikan di Tanah Air. Mulai dari pemerataan kualitas pendidikan hingga kualitas tenaga pendidik.
Siswa tidak lagi diuji berdasarkan soal-soal berbentuk hafalan, melainkan soal yang mengasah literasi dan numerasi. AN juga bisa membawa kualitas pelajar Indonesia naik tingkat. Tidak hanya jago hafalan, tapi juga cepat memahami yang akhirnya jago menganalisis.
Baca juga: DPR dan Kemendikbud sepakat tiadakan Ujian Nasional
Baca juga: Riau keluarkan aturan ketat pelaksanaan UN untuk cegah virus Corona, begini penjelasannya
Oleh Indriani