Klise pencurian sawit dan kasus hukum IRT di Rokan Hulu

id Rokan hulu, Riau, PTPN V

Klise pencurian sawit dan kasus hukum IRT di Rokan Hulu

Direktur PTPN V Jatmiko K Santosa (dua dari kanan) saat menerima kunjungan wakil ketua DPRD Riau Asri Auzar (tengah). (ANTARA/Anggi Romadhoni)

Keterangan dari perwira Polres Rokan Hulu, ibu ini memang melakukan pencurian terencana
Pekanbaru (ANTARA) - Kasus pencurian sawit di Bumi Lancang Kuning, Riau tergolong cukup tinggi. Tak hanya pria gagah, wanita yang telah berusia pun secara berkelompok tergiur merasakan manisnya hasil instan. Tak jarang dengan mengatasnamakan kemiskinan aksi itu menghalalkan cara yang haram.

Tingginya kasus pencurian sawit di Riau bahkan menjadi atensi pucuk pimpinan Korps Bhayangkara di Provinsi Riau. Dalam catatan Antara, Kapolda Riau Inspektur Jenderal Polisi Agung Setya Imam Effendi hingga harus membentuk tim khusus pada Desember 2019 silam.

Tak tanggung-tanggung, jenderal bintang dua itu mengerahkan kekuatan Brigade Mobil dan Sabhara untuk melawan aksi pencurian sawit. Pembentukan tim khusus itu dilaksanakan saat harga sawit kala itu mencapai level tertinggi yakni Rp1.900 per kilogram.

Kala itu, dia menegaskan bahwa aksi pencurian sawit adalah bentuk pidana.

Tingginya kasus pencurian sawit juga diakui oleh Direktur Utama PTPN V Jatmiko K Santosa. Dia mengatakan hal itu saat menerima kunjungan legislator Riau usai kasus viral ibu rumah tangga berinisial RM di Kabupaten Rokan Hulu.

"Tingkat pencurian di PTPN V cukup tinggi, dan kami punya tugas mengelola dan mempertahankan aset negara," kata dia di Pekanbaru, Kamis siang.

RM (31) merupakan ibu rumah tangga yang bermastautin di Kecamatan Tandun, Kabupaten Rokan Hulu. Dia tertangkap tangan sekuriti perusahaan memanen dan mencuri tiga tandan sawit di lahan PTPN V Sei Rokan, Kabupaten Rokan Hulu pada Sabtu (31/5) lalu.

Hingga akhirnya, polisi tetap melanjutkan proses hukum dan melimpahkan berkas ke Pengadilan Negeri setempat. Karena masuk dalam kategori tindak pidana ringan, maka polisi tak melakukan penahanan.

Begitu juga dalam putusannya, hakim Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian menyatakan bahwa RM tidak ditahan meski terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian sawit.

Dalam kasus itu, Jatmiko mengatakan jika hasil penyidikan polisi menyatakan RM telah melakukan pencurian sawit dengan terencana.

Tak hanya itu, Jatmiko mengatakan sesuai keterangan sekuriti perusahaan, ada setidaknya tiga pelaku yang terlihat tengah mengambil sawit dari pohonnya dengan menggunakan egrek(alat pemotong buah sawit)

Hanya saja, saat kepergok dua pelaku lainnya kabur, dan hanya RM berhasil diamankan. Hal serupa juga diamini oleh Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Riau Budi Raharjo Kisnanto dalam keterangannya kepada awak media, Rabu kemarin (3/6).

"Keterangan dari perwira Polres Rokan Hulu, ibu ini memang melakukan pencurian terencana, dan ada alat-alat yang ditangkap. Karena ini tidak sekedar ngambil sawit di (pinggir) jalan tapi bawa egrek dan panen sendiri. Ini adalah kasus yang menurut polisi ini terencana," urainya.

Jatmiko mengaku keberatan jika perusahaan plat merah yang ia komandoi itu di-framing seolah-olah telah bersikap jahat dan mengkriminalisasi RM.

Pada kenyataannya, dia mengatakan jika aksi pencurian tersebut dilakukan secara terencana dan tidak hanya sekedar urusan perut, seperti yang didengungkan sejauh ini.

Selain itu, dia juga membantah jika PTPN V enggan untuk melakukan mediasi. Pada kenyataannya, dia mengatakan saat proses laporan di kepolisian, tidak pernah ada tawaran mediasi hingga perkara lanjut dan putus di pengadilan.

"Dan menurut sepemahaman saya tidak ada tawaran mediasi. Ini mohon di 'clear' kan, bahwa tidak ada mediasi, tidak ada tawaran mediasi. Karena begitu seringnya kejadian seperti ini," ujarnya.

"Kalau kami bicara kemanusiaan, terlepas berapapun nilainya, ini seharusnya pantas dihukum tinggi, tapi kami tidak mau itu," ujarnya.

Jatmiko mengatakan sejatinya wilayah tempat tinggal RM tinggal merupakan salah satu areal yang menjadi sasaran bantuan penyaluran 8.600 paket sembako yang digalang PTPN V saat menghadapi Corona beberapa waktu lalu.

Hanya saja, lanjutnya, RM tidak masuk dalam data pemerintah desa sehingga bantuan itu tidak diterima ibu tiga anak itu. "Daftar yang menerima itu wewenang kepala desa. Namun ibu itu kami sadari tidak menerima, karena wewenang di desa," ujarnya.

Hakim Vonis Bersalah RM

Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Riau Budi Raharjo Kisnanto Rabu kemarin mengatakan jika RM telah divonis bersalah melanggar Pasal 364 KUHP. Vonis langsung dibacakan setelah RM menjalani satu kali proses persidangan cepat di Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian, Selasa (2/5).

"Dalam hal ini sudah disidangkan dan dengan putusan nomor 43/pid.c/2020/pn atas nama Rica Marya Boru Simatupang dijatuhi pidana penjara tujuh hari karena terbukti melakukan pencurian pidana ringan," katanya.

Akan tetapi, Raharjo mengatakan ibu tiga anak itu tidak perlu menjalani masa tahanan. Namun jika selama masa percobaan selama dua bulan ibu tiga anak itu melakukan atau terlibat tindak pidana maka putusan bisa di atas bisa diterapkan.

Lebih jauh, Raharjo menjelaskan jika kasus yang menjerat Rica terjadi pada 31 Mei 2020 lalu. Kasus itu berawal saat Rica bersama kedua temannya kepergok sekuriti saat mencuri buah sawit di areal PTPN V Kebun Sei Rokan, Kabupaten Rokan Hulu, Riau.

Namun, dua rekan Rica berhasil kabur, sementara Rica ditangkap dan langsung digelandang ke Mapolsek Tandun dengan barang bukti tiga tandan sawit serta egrek. Sekuriti PTPN V pun kemudian melaporkan Rica dengan tuduhan pencurian tiga tandan buah sawit dengan kerugian Rp76.500.

Dalam perkara ini, Raharjo mengatakan Rica terjerat tindak pidana ringan karena nilai kerugian di bawah Rp2,5 juta. Untuk itu, proses penyidikan dilakukan dengan skema acara pemeriksaan cepat atau APC.

Dalam skema APC, dia mengatakan penyidik kepolisian tidak melibatkan jaksa dalam pelimpahan berkas ke Pengadilan setempat. "Jadi penyidik langsung melimpahkan berkas perkara ke pengadilan untuk langsung di sidang. Jaksa hanya menerima dan melakukan putusan hakim," jelasnya.

Dalam perkara ini, dia mengatakan Kejaksaan Negeri Rokan Hulu berperan sebagai eksekutor. Artinya, Korps Adhyaksa lah yang akan memantau masa percobaan selama dua bulan terhadap Rica. Jika selama dua bulan dia terlibat pidana kembali, maka Rica bisa langsung dieksekusi untuk ditahan selama tujuh hari.