Pekanbaru (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Riset Kehutanan Internasional atau CIFOR, Prof. Dr.Herry Purnomo meminta pemerintah untuk mewaspadai adanya motif politik lahan jelang pemilihan kepala daerah, yang bisa memicu penguasaan kawasan secara ilegal dan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Ada penelitian kami bahwa menjelang pilkada (pemilihan kepala daerah) selalu banyak izin keluar," kata Prof. Dr. Herry Purnomo disela lokakarya mencari model pencegahan kebakaran dan restorasi gambut berbasis masyarakat, di Pekanbaru, Kamis.
Ia mengatakan hasil riset yang sudah dipublikasikan di jurnal Forestry Review tersebut menunjukkan bahwa sampai dengan 2017 atau sebelum pilkada, izin untuk kepemilikan lahan cenderung meningkat. Ironisnya, izin tersebut dikeluarkan oleh kepala daerah petahana maupun calon kandidat bupati maupun wali kota, di kawasan konservasi, hutan lindung maupun konsesi korporasi.
Baca juga: CIFOR: Masyarakat sangat butuh contoh nyata pembukaan lahan tanpa bakar
"Bisa (oleh) inkamben, calon kandidat, melakukan politik lahan. Anda mau jadi bupati maka cenderung penegakan hukum dikendorkan untuk menarik minat," katanya.
Ia mengatakan kondisi tersebut tentu merugikan bagi kelestarian lingkungan karena tindakan yang muncul adalah penguasaan lahan secara ilegal. Okupansi lahan secara ilegal akan berlanjut dengan tindakan ilegal lainnya untuk membuka lahan, yaitu membakar.
"Cara mendapatkannya ilegal, pengelolaannya ilegal juga ya dengan membakar. Jangan harap yang dapatkan lahan ilegal itu datangkan traktor karena untuk memasukkan traktor perlu izin. Jadi lahannya ilegal, mengolahnya juga ilegal, jadi ada lingkaran praktik-praktik yang tidak bagus," katanya.
Baca juga: Satgas isyaratkan Siaga darurat karhutla Riau tidak diperpanjang
Menurut dia, pemerintah pusat bukan tidak tahu tentang hal tersebut karena Presiden Joko Widodo sempat mempertanyakan juga kenapa kepala daerah seperti tidak bertindak terhadap kejadian-kejadian seperti itu yang menyebabkan karhutla. Karena itu, Herry Purnomo menduga kepala daerah yang tidak vokal melihat fenomena itu kemungkinan sudah termasuk dalam lingkaran politik lahan, atau bisa juga tidak ada anggaran untuk melakukan penindakan.
"Pemda seakan tidak sevokal pemerintah pusat, kenyataannya memang seperti itu. Mungkin karena ada politik lahan, atau bujet kurang," ujarnya.
Ia menilai kejadian karhutla tahun 2019 di Riau yang luasnya sudah lebih dari 60 ribu hektare menunjukkan bahwa ada yang gagal dalam upaya pencegahan.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Riau, ada sembilan kabupaten dan kota di Riau yang akan melangsungkan Pilkada pada 2020. Daerah tersebut antara lain Kabupaten Rokan Hilir, Rokan Hulu, Bengkalis, Kepulauan Riau, Siak, Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, dan Kota Dumai.
Baca juga: CIFOR Teliti Bekas Lahan Gambut Yang Terbakar Di Bengkalis
Baca juga: Gandeng Sejumlah Pihak, Cifor Gelar Lokakarya terkait Perda Karhutla
Berita Lainnya
CIFOR luncurkan publikasi pencegahan kebakaran dan restorasi gambut berbasis masyarakat
01 September 2023 14:19 WIB
Lokakarya Riset Aksi Partisipatif CIFOR, Siak Hijau mesti berkelanjutan
06 June 2023 18:03 WIB
Pemkab Siak dan CIFOR riset aksi partisipatif cegah karhutla
09 September 2021 19:12 WIB
CIFOR: perusahaan lebih baik lepaskan konsesi yang sebabkan karhutla. Ini alasannya
25 October 2019 14:43 WIB
CIFOR: Masyarakat sangat butuh contoh nyata pembukaan lahan tanpa bakar
24 October 2019 16:37 WIB
CIFOR Studying Effectiveness Of Peatland Restoration In Riau
17 May 2017 20:05 WIB
CIFOR Teliti Bekas Lahan Gambut Yang Terbakar Di Bengkalis
17 May 2017 14:00 WIB
CIFOR: Aksi Pencegahan Karhutla Harus Dapat Dukungan Dalam Pendanaan
22 July 2016 15:55 WIB