APP Group Perkuat Restorasi dan Pembiayaan Karbon di COP30

id Indah Kiat, APP Group

APP Group Perkuat Restorasi dan Pembiayaan Karbon di COP30

APP Group Perkuat Restorasi dan Pembiayaan Karbon di COP30 (ANTARA/APP Group)

Pekanbaru (ANTARA) - Peran sektor swasta Indonesia dalam memperkuat aksi iklim global kembali mendapat perhatian pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP30). Dalam rangkaian dialog tingkat tinggi yang mempertemukan pemerintah, lembaga internasional, organisasi konservasi, lembaga keuangan, serta pelaku industri global, APP Group menegaskan komitmennya memperkuat solusi iklim berbasis alam, integritas pasar karbon, dan restorasi hutan tropis melalui pendekatan lanskap terpadu dan kemitraan multipihak.

Sebagai perusahaan berbasis sumber daya alam, APP Group menekankan bahwa kesehatan ekosistem merupakan fondasi utama keberlanjutan industri. Suhendra Wiriadinata, Direktur APP Group, menyatakan bahwa keberlanjutan kini menjadi bagian integral dari strategi bisnis perusahaan.

“Industri pulp dan kertas hanya dapat bertumbuh di atas lanskap yang sehat. Karena itu, investasi pada restorasi, teknologi pemantauan, dan kolaborasi multipihak merupakan strategi bisnis untuk memperkuat ketahanan rantai pasok, menurunkan risiko operasional, serta membangun kepercayaan pasar global terhadap produk Indonesia,” ujarnya.

Melalui platform keberlanjutan Regenesis, APP Group melanjutkan transformasi pengelolaan lanskap dari Forest Conservation Policy (2013) menjadi Forest Positive Policy. Kerangka ini mendorong investasi US$30 juta per tahun selama satu dekade untuk pemulihan ekosistem, pengelolaan gambut, konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan karbon biru, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah operasional. Seluruh komitmen tersebut mendukung target nasional FOLU Net Sink 2030, implementasi Article 6 Paris Agreement, dan penguatan tata kelola pasar karbon Indonesia melalui IDXCarbon.

Dalam forum COP30, para pemangku kepentingan menekankan bahwa efektivitas restorasi hutan tropis memerlukan perpaduan antara pendekatan ilmiah, legitimasi sosial, dan pendanaan jangka panjang. Aditya Bayunanda, Direktur WWF Indonesia, menegaskan bahwa sektor swasta perlu memilih area intervensi yang strategis secara ekologis dan sosial.

“Pilihlah area dengan habitat penting, keanekaragaman hayati tinggi, atau wilayah dengan jasa lingkungan yang beragam—bukan hanya karbon, tetapi juga air dan budaya yang perlu dilindungi. Area-area seperti itu memberikan nilai tambah dan membedakan posisi perusahaan di tingkat global,” ujarnya.

Pandangan serupa disampaikan oleh Beria Leimona, Theme Leader CIFOR–ICRAF, yang menekankan bahwa keberhasilan kolaborasi bergantung pada relevansi sosial dan keterlibatan masyarakat.

“Selain solusi berbasis sains, kita perlu memperhatikan aspek legitimasi. Mendengarkan pengetahuan ekologi lokal dan melibatkan masyarakat dalam proses negosiasi adalah kunci keberlanjutan. Pada akhirnya, kolaborasi sejati bertumpu pada pemberdayaan,” jelasnya.

Semangat kolaboratif ini diperkuat melalui peluncuran Tropical Forests Forever Facility (TFFF) di Paviliun Indonesia. Inisiatif pembiayaan jangka panjang ini melibatkan Pemerintah Indonesia, Brasil, Uni Emirat Arab, sektor energi, lembaga internasional, dan sektor swasta untuk memperkuat konservasi dan restorasi hutan tropis dalam skala besar.

Dalam keynote-nya, Deputi Menteri Koordinator Bidang Aksesibilitas dan Keamanan Pangan, Nani Hendiarti, menegaskan bahwa solusi berbasis masyarakat merupakan fondasi utama keberlanjutan.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia bersama Uni Emirat Arab tengah mengembangkan Nature and Climate Partnership yang mencakup konservasi keanekaragaman hayati, penguatan perhutanan sosial, tata kelola yurisdiksional, serta mekanisme pendanaan inovatif.

“Perlindungan hutan bukan hanya soal menanam pohon, tetapi memastikan masyarakat yang hidup di sekitar hutan memperoleh manfaat nyata,” ujarnya.

Dari sisi kebijakan nasional, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Laksmi Wijayanti, menekankan pentingnya inovasi pembiayaan dan kolaborasi lintas sektor dalam mendorong pemulihan ekosistem.

“Kita membutuhkan kolaborasi, inovasi, dan kepercayaan. Pembiayaan karbon dan blended funding dapat menjadi jembatan antara modal global dan aksi lokal.

Jika diterapkan dengan integritas, mekanisme ini berpotensi memulihkan jutaan hektare lahan, mendukung mata pencaharian masyarakat, dan memperkuat kredibilitas solusi iklim berbasis alam,” ujarnya.

Menanggapi dinamika kolaborasi global tersebut, Elim Sritaba, Chief Sustainability Officer APP Group, menegaskan bahwa tata kelola iklim tidak dapat berjalan dengan pendekatan tunggal.

“Tantangan iklim hari ini tidak bisa dijawab oleh satu pendekatan tunggal. Kita membutuhkan integrasi antara sains, tata kelola yang kuat, serta kemitraan yang setara dengan masyarakat dan pemerintah. Melalui kerangka Regenesis, kami ingin memastikan bahwa setiap keputusan diambil berdasarkan bukti ilmiah, tetapi tetap mempertimbangkan realitas sosial di lapangan. Inilah landasan yang membuat aksi iklim dapat berjalan konsisten dan berkelanjutan,” tegasnya.

Dengan menggabungkan teknologi pemantauan modern, pendekatan berbasis sains, pemberdayaan masyarakat, serta kemitraan multipihak, APP Group memperkuat kontribusi Indonesia dalam tata kelola hutan tropis global.

Kehadiran APP Group di COP30 mencerminkan komitmen jangka panjang untuk menjaga kelestarian ekosistem, memperkuat pasar karbon berintegritas, serta memastikan bahwa sektor industri dapat berkontribusi signifikan terhadap ketahanan iklim dan pembangunan nasional.

Pewarta :
Editor: Vienty Kumala
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.