Jakarta (ANTARA) - Empat daerah menyatakan siap untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dan akan menyelesaikan proyek tersebut pada 2019.
"Dari 12 kota/kabupaten yang mengusulkan pembangkit listrik tenaga sampah, sudah ada 4 yang cukup siap, mudah-mudahan tahun ini sudah selesai," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Kantor Presiden Jakarta, Selasa.
Sebelumnya Pramono menghadiri rapat terbatas dengan topik "Perkembangan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)" yang dipimpin langsung Presiden Joko Widodo.
Empat daerah yang akan menyelesaikan PLTSa adalah Surabaya, Bekasi, Solo, dan DKI Jakarta.
"Surabaya, Bekasi, Solo, DKI akan dikawal secara langsung untuk penyelesaiannya. Kelima adalah Bali kemudian 7 daerah lain akan diminta membuat 'prototype-nya'. Solo 'progressnya' cukup baik, kemudian yang mulai adalah DKI Jakarta dan yang persoalannya relatif tertangani dengan baik adalah Bali," ungkap Pramono.
Menurut Pramono, persoalan PLTSa sudah berjalan cukup lama karena ada perbedaan pandangan antara PT PLN dengan daerah-daerah yang akan mendirikan PLTSa.
"Tadi Presiden menegaskan karena perpresnya sudah ada, hitungan sudah ada 13, sekian per kwh itu yang dijadikan acuan, jadi yang diminta ke PLN adalah perhitungan bukan berdasarkan keuntungan tapi dalam rangka pembersihan sampah di kota-kota yang ada," tambah Pramono.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan pada 12 April 2018.
Harga pembelian tenaga listrik oleh PLN ditetapkan berdasarkan besaran kapasitas PLTSa yang dijual kepada PLN dengan ketentuan sebagai berikut. Untuk besaran kapasitas sampai dengan 20MW (megawatt) sebesar US $13,35 sen/kWh yang terinterkoneksi pada jaringan tegangan tinggi, jaringan tegangan menengah, dan jaringan tegangan rendah.
Untuk kapasitas lebih dari 20MW harga pembelian dihitung 14,54 – (0,076 x besaran kapasitas PLTSa yang dijual ke PLN).
Ketentuan harga sebagaimana dimaksud, dikecualikan dalam hal pembangunan PLTSa dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Hasil penjualan listrik kepada PLN merupakan hak dari pengembang PLTSa.
"Persoalan klasik adalah 'tipping fee', tiap daerah hal yang berkaitan dengan 'tipping fee' berbeda-beda, Jawa Timur misalnya 'tipping fee' hanya Rp150, padahal di perpres 'tipping fee' diatur maksimum sebesar-besarnya Rp500, jadi sudah ada payung hukum tapi semua tidak ada yang berani mengambil kebijakan karena takut persoalan hukum," jelas Pramono.
Padahal produksi sampah di kota-kota tersebut tinggi, misalnya di Bekasi menghasilkan sampah 1.700 ton per hari, belum ditambah 8.000 ton dari Bantar Gebang.
"Maka Presiden menegaskan risalah rapat hari ini merupakan payung hukum termasuk payung hukum penyelesaian yang ada termasuk untuk sampah, mudah-mudahan dengan demikian 5 daerah segera selesai, 7 daerah segera bisa mengikuti karena perpres sudah sangat jelas," tambah Pramono.
Perpres No 35/2018 tersebut mengamanatkan percepatan pembangunan PLTSa oleh pemerintah daerah, antara lain di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang, dan Kota Manado.
Dalam melakukan percepatan pembangunan PLTSa itu, gubernur atau wali kota dapat menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau melalui kompetisi Badan Usaha.
Ditegaskan dalam Perpres ini, Pengelola Sampah dan Pengembang PLTSa wajib memenuhi perizinan di bidang lingkungan hidup dan perizinan di bidang usaha penyediaan tenaga listrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setelah menugaskan atau menetapkan Pengelola Sampah dan Pengembang PLTSa, menurut Perpres ini, gubernur atau wali kota mengusulkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memberikan penugasan pembelian tenaga listrik PLTSa oleh PT PLN (Persero).
Mengenai pendanaan untuk percepatan pembangunan PLTSa, bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pendanaan yang bersumber dari APBN, digunakan untuk Bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah kepada Pemerintah Daerah, yang besarnya paling tinggi Rp500 ribu per ton sampah.
Dalam Perpres ini ditegaskan bahwa pembangunan PLTSa mengutamakan penggunaan produk dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.
Pewarta: Desca Lidya Natalia