Pekanbaru, 3/10 (ANTARA) - Organisasi konservasi dunia World Wildlife Fund menilai, kebijakan merelokasi harimau liar yang berkonflik dengan warga di kawasan penyangga Cagar Biosfer Bukit Batu bukan solusi utama.
"Translokasi atau merelokasi harimau dari habitat aslinya bukan satu-satunya solusi dari permasalan konflik manusia versus harimau yang terus terjadi," kata Humas WWF Riau Syamsidar di Pekanbaru, Minggu.
Beberapa hari lalu Kasi Wilayah III Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau, Hutomo, menyatakan, sesuai aturan maka harimau liar yang berkonflik dengan manusia di kawasan penyangga Cagar Biosfer Bukit Batu akan direlokasi.
Kebijakan itu diambil menyusul memanasnya konflik manusia versus harimau di kawasan penyangga Cagar Biosfer Bukit Batu yang memangsa seorang warga dan seekor sapi, meski kemudian harimau itu tewas setelah dijebak warga menggunakan jerat seling di depan mata petugas BBKSDA.
Menurut Syamsidar, rencana relokasi harimau dari cagar biosfer ke kawasan Konservasi Harimau Sumatera Sinepis/Buluhala, Bengkalis bukan merupakan habitat yang aman bagi hewan mamalia yang dilindungi itu.
Pasalnya, di kawasan konservasi "kucing besar" itu terjadi pembukaan lahan baik yang dilakukan warga ataupun aktivitas perusahaan yang telah menimbulkan konflik antara manusia versus harimau karena semakin sempitnya habitat satwa.
"Jika dipindahkan, belum tentu lebih baik dari habitat aslinya. Sebab sekitar kawasan Sinepis tidak membuat harimau itu lebih aman dan bisa jadi membuat konflik baru disamping konflik yang ada," jelasnya.
Pada awal Agustus 2010 seorang warga tewas diterkam harimau di area konsesi hutan produksi PT Ruas Utama Jaya, mitra pemasok bahan baku industri kertas Sinar Mas Forsetry di lanskap konservasi harimau hutan Sinepis.
"Solusi terbaik adalah mempertahankan habitat asli, bukan malah merelokasi harimau dari habitatnya aslinya di ekosistem kawasan konservasi cagar biosfer," ujarnya.
Berdasarkan data WWF Riau, kebijakan merelokasi satwa dilindungi pernah dilakukan tahun 2006 terhadap delapan ekor gajah Sumatera (Elephant maximus sumatranus) yang dipindah dari habitat aslinya dari kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja ke Taman Nasional Tesso Nilo.
Walhasil sebanyak dua dari enam ekor gajah yang dipindah mati akibat sulit beradaptasi, sedangkan gajah yang lainnya menimbulkan konflik baru dengan manusia sehingga menimbulkan korban di kedua belah pihak.