Pembunuh Tiga Harimau di Riau Dituntut 4,5 Tahun Penjara
Pekanbaru (Antaranews Riau) - Jaksa Penuntut Umum menuntut Falalini Halawa, terdakwa pembunuh tiga Harimau Sumatera, dengan hukuman pidana 4,5 tahun penjara karena dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian pada satwa dilindungi itu di Provinsi Riau.
“Benar, tuntutannya adalah hukuman penjara empat tahun enam bulan,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kuantan Singingi, Mochamad Fitri Adhy ketika dihubungi Antara dari Pekanbaru, Kamis.
JPU juga menuntut terdakwa dijatuhi hukuman denda sebesar Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan. Adhy mengatakan pembacaan tuntutan sudah berlangsung pada persidangan di Pengadilan Negeri Telukkuantan, Kuantan Singingi, pada 12 Februari lalu.
Baca juga: Harimau Sumatera Mati Terjerat Kawat Ternyata Bunting
Ia menjelaskan terdakwa Falalini bisa dibuktikan telah melanggar Pasal 40 Ayat (2) Jo. Pasal 21 Ayat (2) huruf a Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sebabnya, terdakwa dinilai telah dengan sengaja melakukan perbuatan menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, satwa yang dilindungi.
“Dalam pemeriksaan, terdakwa sudah mengetahui bahwa tempat dia memasang jerat adalah habitat harimau, dan masyarakat di sana sudah memperingatkan untuk tidak memasang jerat disekitar hutan yang merupakan tempat perlintasan harimau,” katanya.
Namun, terdakwa mengacuhkan peringatan tersebut dan tetap memasang jerat-jerat dari ukuran kecil hingga besar yang terbuat dari kawat (sling) baja bekas rem motor. Alasannya adalah untuk menangkap babi dan landak yang kerap merusak kebun kelapa sawit. Namun, dari ukuran jerat tidak sesuai untuk menangkap hewan berukuran kecil.
Dalam kasus tersebut, JPU menghadirkan barang bukti yang memberatkan terdakwa seperti sebuah kerat yang terbuat dari tali nilon, sebuah jerat yang terbuat dari sling atau kabel baja bekas rem sepeda motor, seekor induk harimau beserta dua ekor bayi harimau dalam keadaan mati, empat buah jerat yang terbuat dari tali nilon, dan dua karung plastik bulu landak.
Dalam persidangan juga diungkapkan bahwa terdakwa Falalini juga menangkap landak, yang dagingnya untuk dimakan.
“Landak itu juga binatang yang dilindungi,” kata Adhy.
Reza Himawan Pratama selaku Hakim Ketua pada kasus tersebut memberikan waktu seminggu kepada terdakwa untuk melakukan pembelaan.
Baca juga: Kebijakan Tiongkok Bisa Memicu Perburuan Harimau Sumatera
Sebelumnya, Balai Penegakan Hukum Wilayah II Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menangkap Falalini Halawa
karena menjadi tersangka pemasang jerat yang membunuh tiga harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) di Desa Pangkalan Indarung Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi pada September 2018.
Falalini, 41 tahun, sebenarnya berasal dari Kabupaten Nias Selatan dan tinggal di Desa Pangkalan Indarung karena bekerja sebagai penjaga kebun kelapa sawit dan ubi di sana. Ia mengklaim terpaksa memasang jerat untuk melindungi tanaman dari hama babi.
Baca juga: Populasi Harimau Sumatera Tinggal 400 Ekor, 149 ada di Riau
Namun, pada tanggal 25 September 2018 seekor harimau suamtera liar terkena jerat ukuran besar yang terbuat dari sling baja milik Falalini. Satwa dilindungi itu akhirnya ditemukan mati akibat jerat kabel baja mencengram pada bagian pinggangnya.
Posisi harimau tersebut ditemukan di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Batang Siabu Desa Pangkalan Indarung Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, yang mana kawasan tersebut adalah tempat hidup dan perlintasan satwa-satwa liar, salah satunya Harimau Sumatera.
Hasil pemeriksaan Dokter Hewan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau menyatakan, bahwa harimau tersebut mati akibat gangguan dalam pengangkutan Oksigen ke jaringan tubuh yang disebabkan terganggunya fungsi paru-paru, pembuluh darah ataupun jaringan tubuh. Selain itu, dua ginjal harimau tersebut juga pecah karena jerat pada bagian pinggang dan pinggul sehingga menyebabkan kematian.
Baca juga: Harimau Sumatera Masuk Kawasan Pasar di Riau
Baca juga: Harimau Sumatera Kehilangan Kampung Halaman
“Benar, tuntutannya adalah hukuman penjara empat tahun enam bulan,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kuantan Singingi, Mochamad Fitri Adhy ketika dihubungi Antara dari Pekanbaru, Kamis.
JPU juga menuntut terdakwa dijatuhi hukuman denda sebesar Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan. Adhy mengatakan pembacaan tuntutan sudah berlangsung pada persidangan di Pengadilan Negeri Telukkuantan, Kuantan Singingi, pada 12 Februari lalu.
Baca juga: Harimau Sumatera Mati Terjerat Kawat Ternyata Bunting
Ia menjelaskan terdakwa Falalini bisa dibuktikan telah melanggar Pasal 40 Ayat (2) Jo. Pasal 21 Ayat (2) huruf a Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sebabnya, terdakwa dinilai telah dengan sengaja melakukan perbuatan menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, satwa yang dilindungi.
“Dalam pemeriksaan, terdakwa sudah mengetahui bahwa tempat dia memasang jerat adalah habitat harimau, dan masyarakat di sana sudah memperingatkan untuk tidak memasang jerat disekitar hutan yang merupakan tempat perlintasan harimau,” katanya.
Namun, terdakwa mengacuhkan peringatan tersebut dan tetap memasang jerat-jerat dari ukuran kecil hingga besar yang terbuat dari kawat (sling) baja bekas rem motor. Alasannya adalah untuk menangkap babi dan landak yang kerap merusak kebun kelapa sawit. Namun, dari ukuran jerat tidak sesuai untuk menangkap hewan berukuran kecil.
Dalam kasus tersebut, JPU menghadirkan barang bukti yang memberatkan terdakwa seperti sebuah kerat yang terbuat dari tali nilon, sebuah jerat yang terbuat dari sling atau kabel baja bekas rem sepeda motor, seekor induk harimau beserta dua ekor bayi harimau dalam keadaan mati, empat buah jerat yang terbuat dari tali nilon, dan dua karung plastik bulu landak.
Dalam persidangan juga diungkapkan bahwa terdakwa Falalini juga menangkap landak, yang dagingnya untuk dimakan.
“Landak itu juga binatang yang dilindungi,” kata Adhy.
Reza Himawan Pratama selaku Hakim Ketua pada kasus tersebut memberikan waktu seminggu kepada terdakwa untuk melakukan pembelaan.
Baca juga: Kebijakan Tiongkok Bisa Memicu Perburuan Harimau Sumatera
Sebelumnya, Balai Penegakan Hukum Wilayah II Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menangkap Falalini Halawa
karena menjadi tersangka pemasang jerat yang membunuh tiga harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) di Desa Pangkalan Indarung Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi pada September 2018.
Falalini, 41 tahun, sebenarnya berasal dari Kabupaten Nias Selatan dan tinggal di Desa Pangkalan Indarung karena bekerja sebagai penjaga kebun kelapa sawit dan ubi di sana. Ia mengklaim terpaksa memasang jerat untuk melindungi tanaman dari hama babi.
Baca juga: Populasi Harimau Sumatera Tinggal 400 Ekor, 149 ada di Riau
Namun, pada tanggal 25 September 2018 seekor harimau suamtera liar terkena jerat ukuran besar yang terbuat dari sling baja milik Falalini. Satwa dilindungi itu akhirnya ditemukan mati akibat jerat kabel baja mencengram pada bagian pinggangnya.
Posisi harimau tersebut ditemukan di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Batang Siabu Desa Pangkalan Indarung Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, yang mana kawasan tersebut adalah tempat hidup dan perlintasan satwa-satwa liar, salah satunya Harimau Sumatera.
Hasil pemeriksaan Dokter Hewan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau menyatakan, bahwa harimau tersebut mati akibat gangguan dalam pengangkutan Oksigen ke jaringan tubuh yang disebabkan terganggunya fungsi paru-paru, pembuluh darah ataupun jaringan tubuh. Selain itu, dua ginjal harimau tersebut juga pecah karena jerat pada bagian pinggang dan pinggul sehingga menyebabkan kematian.
Baca juga: Harimau Sumatera Masuk Kawasan Pasar di Riau
Baca juga: Harimau Sumatera Kehilangan Kampung Halaman