Pekanbaru (Antarariau.com) - Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Riau menyita sebanyak 52,8 ton kayu ilegal jenis Meranti, sejenis kayu hutan dengan nilai jual sangat tinggi yang berasal dari hasil pembalakan liar di semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan.
"Total 19 orang tersangka kita tangkap dari pengungkapan besar ini," kata Kepala Bidang Humas Polda Riau, Komisaris Besar Polisi Sunarto di Pekanbaru, Kamis.
Selain menyita kayu jenis Meranti keras dengan nilai puluhan juta rupiah tersebut, Polisi turut menyita satu unit kapal tradisional bermesin atau pompong, sampan dan peralatan penebang hutan seperti "Chainsaw" dan parang.
Ia menjelaskan pengungkapan tersebut merupakan hasil penyelidikan dari empat laporan kepolisian yang diterima jajaran Ditreskrimsus Polda Riau dalam beberapa waktu terakhir. Laporan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti Polda Riau dengan mengirimkan tim ke lokasi.
Selain itu, dia juga menjelaskan penyelidikan turut dilakukan melalui jalur udara, bersamaan dengan patroli yang digelar oleh satuan tugas pembakaran hutan dan lahan.
Sunarto menuturkan bahwa seluruh kayu yang telah diolah menjadi lempengan papan dan balok tersebut disita di dalam kanal perusahaan konsesi HTI, PT SPA, Kabupaten Pelalawan.
"Jadi kanal itu menjadi jalur utama para tersangka untuk mengangkut kayu dari dalam hutan. Kanal milik perusahaan PT SPA," jelasnya.
Melengkapi Sunarto, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau, Kombes Pol Arif Gideon Setiawan kepada Antara menjelaskan seluruh kayu yang disita tersebut ditemukan dalam bentuk rakitan di dalam kanal perusahaan PT SAP.
Meski begitu, Gidion memastikan perusahaan tidak terlibat dalam kejahatan lingkungan pembalakan liar itu. Dia menjelaskan lokasi penebangan kayu berada di luar wilayah konsesi.
"Lokasi penebangan kayu tidak di lahan konsesi. Titik tebang di hutan desa Serapung, lalu dibawa keluar dari dalam hutan melewati kanal," ujarnya.
Rawan Konflik
Lebih jauh, Gidion menuturkan bahwa pembalakan liar di kawasan hutan tersebut mayoritas dilakukan oleh warga luar. Termasuk para tersangka yang mayoritas merupakan warga pendatang dari Pulau Jawa dan Provinsi Sumatera Barat, meski beberapa di antaranya ada warga lokal yang terlibat.
"Masyarakat Desa sebenarnya sangat menolak aktivitas itu. Tapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Ini yang kita antisipasi terjadinya konflik," tuturnya.
Menurut Gidion, diperkirakan kawasan hutan lebat itu telah dirambah selama tiga tahun terakhir. Hal itu diketahui dari keterangan saksi ahli dengan menghitung luas lahan yang habis dibabat pembalak liar yang mencapai puluhan hektare.
Dia juga menjelaskan bahwa kawasan bekas tebangan sangat rawan terjadinya Karhutla. Sebagian perambah telah mendirikan tenda untuk selanjutnya dialihfungsikan menjadi areal perkebunan. "Ini juga sangat rawan Karhutla," ucap Gidion.
Saat ini, para tersangka masing-masing MY (25), Dr (34), Mr (44), Uw (44), An (40), Di (21), KL (26), Rk (20), Yn (31), In (25), Al (27), Az (47), By (29), Ar (29), Rb (23), Sy (38), Ro (41), Ad (46) dan Sf (42) dijerat dengan Pasal 82 ayat 1 huruf b, dan atau 83 ayat 1 huruf B UU RI 2013 tentang pencegahan perusakan hutan.
Berkas para tersangka, kata Gidion, juga dipastikan lengkap oleh jaksa sehingga hari ini mereka akan langsung diserahkan ke Kejaksaan atau Tahap II. "Kasus ini terungkap Agustus lalu. Jadi kita sengaja ekspose perkara ini setelah berkas dinyatakan lengkap oleh jaksa," ujar Gidion.