Dukungan Negara Arab Vital Bagi Perdamaian Palestina

id dukungan, negara arab, vital bagi, perdamaian palestina

 Dukungan Negara Arab Vital Bagi Perdamaian Palestina

Jakarta, (Antarariau.com) - Keputusan Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan memerintahkan administrasinya memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem sesuai keinginan Israel sejak negara Zionis ini berdiri, sebagai kontroversial.

Mayoritas negara di dunia mengecam tindakan gegabah ini, termasuk sekutu-sekutu terdekat Amerika Serikat di Eropa, seperti Prancis dan Inggris.

Keputusan Trump ini harus ditolak bukan saja karena bertentangan dengan sikap formal PBB yang dinyatakan dalam sejumlah resolusi yang dikeluarkan sejak 1947, akan tetapi juga bertentangan dengan posisi Amerika Serikat sendiri sebagai mediator dalam sejumlah perjanjian damai antara Arab-Israel dan antara Palestina-Israel.

Amerika Serikat dan Israel yang semula berharap langkah ini akan diikuti oleh negara-negara lain, justru menuai arus balik yang membuat Amerika Serikat terasing dari masyarakat internasional.

Israel yang berusaha membela dengan melakukan langkah diplomasi dengan kunjungan Perdana Mentri Benyamin Netanyahu ke Prancis dan Belgia, kembali ke Tel Aviv dengan tangan hampa.

Di sisi lain, negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI melalui KTT di Istanbul, Turki, berhasil menyatukan sikap termasuk negara-negara Arab yang sedang bertikai dengan mengeluarkan sikap bersama, bukan saja menolak keputusan Donald Trump, tetapi juga mengimbanginya dengan mengakui Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina yang ditandatangani oleh delegasi dari 57 negara yang hadir.

Dengan demikian, kini posisinya l lawan 57, di mana Israel hanya mendapat pengakuan satu negara, sementara Palestina mendapatkan pengakuan 57 negara, ujar Ketua Hubungan Luar Negeri Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Muhammad Najib.

Keuntungan Palestina bertambah, lanjutnya, karena Lebanon yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel akan segera membuat kedutaan di Yerusalem Timur sesuai keinginan Palestina, sementara Turki dan Portugal yang sudah memiliki hubungan diplomatik yang ditandai dengan kedutaannya di Tel Aviv akan mengimbanginya dengan membuat kedutaan baru di Yerusalem Timur untuk Palestina.

Walaupun rencana Lebanon, Turki, dan Portugal tidak mudah dilaksanakan, mengingat secara de facto seluruh Kota Yerusalem berada di bawah kontrol penuh Israel.

Akan tetapi, sebagai sebuah langkah politik sikap ini memiliki arti penting, apalagi jika diikuti oleh banyak negara lain.

Dengan kata lain, negara-negara pendukung Palestina kini berada di atas angin dan berhasil memanfaatkan arus balik yang memojokkan Amerika Serikat dan Israel.

Perlu diwaspadai, ada beberapa hal yang berpotensi membuyarkan keunggulan ini, yang akan mengakibatkan Palestina tidak bisa memetik hasil maksimal dalam pertarungan politik kali ini.

Pertama, negara-negara yang paling bersemangat dan menjadi motor penggerak di KTT Istanbul, antara lain Turki, Indonesia, dan Iran yang semuanya bukan bagian dari negara Arab.

Sementara negara-negara Arab yang seharusnya berdiri di depan justru nampak kurang bersemangat.

Kedua, sebagian besar negara-negara Arab yang bertetangga dengan Israel yang berkali-kali mengalami perang, kini disibukkan dengan masalah dalam negerinya masing-masing.

Ketiga, sejumlah negara Arab kini sedang bertikai, Arab Saudi yang didukung Mesir, UAE, dan Bahrain versus Qatar, Arab Saudi dan negara-negara Teluk yang tergabung dalam GCC versus Yaman.

Keempat, retorika persaingan perebutan pengaruh di kawasan antara Saudi Arabia dengan Iran sudah melampaui akal sehat.

Saudi Arabia kini menempatkan Iran jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan Israel. Pernyataan pejabat Israel yang mengungkapkan adanya hubungan rahasia antara Israel dengan Saudi Arabia tidak pernah dibantah oleh Pemerintah Saudi, bahkan berita yang beredar terkait dengan kunjungan Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) ke Tel Aviv juga tidak pernah diklarifikasi.

Hal ini diperkuat dengan tidak hadirnya Raja atau Putra Mahkota Saudi Arabia ke Istanbul, padahal KTT ini membicarakan hal yang sangat penting bagi masa depan Palestina dan Dunia Arab secara keseluruhan.

Fakta-fakta ini membuat publik percaya dengan berbagai rumor yang berkembang bahwa Saudi Arabia sedang bermain mata dengan Israel untuk menghadapi Iran.

Tanpa dukungan penuh dan sungguh-sungguh negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab yang secara geografis maupun historis paling dekat dengan Palestina, upaya menekan Israel dan Amerika Serikat yang arenanya kini berpindah ke PBB rentan untuk dimandulkan.

Untuk itu, di samping kerja-kerja politik dan diplomasi yang diarahkan untuk menggalang dukungan dunia internasional, juga tidak kalah pentingnya mendorong negara-negara Arab untuk menyingkirkan ego masing-masing dan perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Liga Arab, OKI, dan Non Blok perlu menekan Saudi Arabia agar mengubah kebijakannya yang tidak masuk akal terhadap Qatar, menyelesaikan perangnya dengan Yaman yang sudah memasuki tahun kedua dan menyudahi perseteruannya dengan Iran.

Jika sejumlah negara Arab bisa berdamai dengan Israel apa susahnya bagi Saudi Arabia berdamai dengan Iran.

Jika hal ini gagal dilakukan, maka keuntungan politik yang kini dinikmati Palestina tidak akan membuahkan hasil yang akan mendekatkan kemerdekaan Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.

Bagi Indonesia, kegigihan membela Palestina tidak bisa dilepaskan dari amanah Undang-Undang Dasar terkait dengan kemerdekaan sebuah bangsa dan penghapusan penjajahan dari muka bumi,

Lebih dari itu, kekejaman Zionis Israel yang meneror rakyat Palestina dalam berbagai bentuk telah mengusik naluri kemanusiaan dan dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia paling nyata, sehingga isu Palestina selalu menyatukan pemerintah dengan rakyat lndonesia.

Kali ini, isu Palestina telah membawa hikmah tersendiri, menyatukan rakyat yang terbelah akibat isu SARA yang dipicu oleh pilkada. Semoga bangsa Arab yang kini terbelah juga akan mendapatkan hikmah yang sama.

Momentum Indonesia

Indonesia dapat berperan sebagai mediator dalam proses rekonsiliasi dan persatuan internal faksi-faksi di Palestina antara kubu Hamas dan Fatah sebagai upaya memperjuangkan kemerdekaan Palestina secara berdaulat, ujar intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi.

Zuhairi mengatakan konflik internal Palestina antara kubu Fatah dengan Hamas menyulitkan proses perdamaian antara Palestina dan Israel.

Palestina harus didorong untuk mempunyai sikap yang independen, tanpa intervensi pihak manapun yang dimulai dengan proses rekonsiliasi dan persatuan di dalam internal faksi-faksi di Palestina.

Ada perbedaan antara faksi Hamas dengan Fatah. Hamas yang didukung oleh Qatar dan Iran, sedangkan Fatah didukung oleh Mesir maupun Arab Saudi.

Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia dapat berperan dalam rekonsiliasi untuk membentuk satu Palestina.

Selain itu, ia mengungkapkan jalan menuju kemerdekaan Palestina makin terjal karena Amerika Serikat telah mengambil sikap yang mencederai salah satu klausul pembahasan dalam proses perdamaian, khususnya poin tentang Yerusalem.

Dengan demikian, Amerika Serikat tidak dapat lagi dipercaya sebagai mediator perdamaian, karenanya perlu dicari mediator baru yang dapat bersikap adil dalam proses perdamaian Israel-Palestina.

"Kalau tidak ada mediator baru, maka pertikaian antara Israel dan Palestina tidak akan berakhir," ujar dia.

Disamping itu, lanjutnya, negara-negara Arab dan dunia Islam tidak mempunyai suara yang bulat terkait Palestina karena terkait dengan kepentingan politik masing-masing negara.

Hal itu bisa terlihat saat KTT Luar Biasa OKI di Istanbul, Turki beberapa waktu lalu. Arab Saudi hanya mengirimkan wakil menteri ke konferensi tersebut, begitupun juga dengan Mesir yang hanya mengutus menlunya.

Padahal, negara-negara lain yang hadir di KTT tersebut diwakili langsung oleh kepala negara.

Zuhairi mengatakan Arab Saudi hingga kini tidak mengecam kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump karena ia melanjutkan keputusan Raja Abdul Azis yang menyatakan tidak akan menghambat keputusan Inggris dalam memberikan kedaulatan kepada Israel di Palestina.

"Pada tahun 1930, Raja Abdul Azis mengirimkan surat kepada Inggris bahwa ia tidak akan menghambat keputusan Inggris dalam memberikan kedaulatan kepada Israel di Tanah Palestina," kata dia.

Kemudian pada 1990, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengeluarkan fatwa tentang boleh berdamai dengan Israel.

Survei terbaru oleh Institute for Policy and Strategy, 18 warga Arab Saudi menganggap Israel sebagai musuh, 22 persen menganggap ISIS sebagai musuh, dan 53 persen menganggap Iran sebagai musuh.

"Jadi bagi Arab Saudi, Israel bukanlah musuh mereka, melainkan musuh mereka adalah Iran," kata dia.

Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Israel mempunyai musuh yang sama, yaitu Iran.

Dengan ketidakpaduan negara-negara Arab, Indonesia dapat berperan mendorong negara-negara Arab dan dunia Islam menjadi satu suara terkait dengan Yerusalem.

Indonesia dapat diterima oleh negara-negara di kawasan lain terkait dengan konflik Palestina dan Israel seperti Arab Saudi, Iran, Turki, dan bahkan Uni Eropa.

Dengan diterimanya Indonesia di berbagai kawasan, Indonesia dapat mendorong terciptanya perdamaian bagi Palestina dan Israel.