Dua Harapan Orang Pedalaman di Hari Kemerdekaan

id dua harapan, orang pedalaman, di hari kemerdekaan

Dua Harapan Orang Pedalaman di Hari Kemerdekaan

Roda pembangunan berputar sangat lambat bagi warga yang tinggal di "jantung" KSM Bukit Rimbang Baling. Menurut Sahrul, pemerintah memang mulai memberi perhatian untuk kebutuhan listrik beberapa desa dengan bantuan panel tenaga surya, meski jumlahnya masih terbatas.

Namun, ia mengatakan ada dua hal yang menjadi harapan pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-71 ini. Orang pedalaman sangat mendambakan pembangunan transportasi dan jaringan komunikasi.

"Harga barang bisa dua kali lipat di sini karena transportasi sulit. Seperti semen satu zak harganya Rp60 ribu di kota, sampai sini jadi Rp135 ribu karena diangkut pakai perahu," kata Sahrul.

Menurut dia, masyarakat setempat sadar karena tinggal di dalam kawasan suaka margasatwa, membuat pemerintah terganjal regulasi untuk membangun akses jalan. Itu artinya, akan selamanya mereka terisolir dan bergantung pada transportasi sungai.

"Tapi paling tidak, bisa saja ada subsidi biaya transportasi supaya harga barang tidak terlampau mahal," ujarnya.

Selain itu, warga berharap ada upaya pemerintah membuka belenggu daerah pedalaman lewat telekomunikasi. Sebabnya, meski di zaman yang sudah serba canggih ini, warga sangat kesulitan berkomunikasi dengan orang di luar kawasan itu.

Kalau beruntung, warga yang punya telepon genggam bisa mendapat sinyal "hilang-timbul" asalkan mau mendaki bukit tinggi, yang untuk mencapainya butuh sejam jalan kaki dari desa. Selebihnya, warga lebih sering mengandalkan berita dari pesan mulut ke mulut.

"Seringnya kalau ada pesan dari kota, disampaikan ke warga di hilir yang akan bawa perahu ke hulu. Makanya pesan pasti lama sampainya, itu pun kalau yang bawa pesan tak terlupa," katanya.

Pilihan hidup di KSM Rimbang Baling, lanjutnya, kini makin sulit karena kenaikan harga barang tak sebanding dengan pendapatan dari hasil kebun karet yang nilainya terus amblas. Sementara itu, merelokasi masyarakat ke luar hutan berarti melupakan adat dan mencabut identitas mereka.

"Kami memang merdeka karena bisa hidup di tengah hutan yang tenang dan jarang sekali ada kriminalitas. Tapi rasanya belum sepenuhnya merdeka juga, karena masih ada perasaan terus ditinggalkan dalam pembangunan," lanjut Sahrul.

Foto Pendamping

Sementara itu, Humas WWF Program Riau, Syamsidar, mengatakan pengelolaan kolaboratif akan sangat tepat untuk diterapkan di KSM Bukit Rimbang Baling. Pelaksanaannya akan makin efektif, apabila suara "akar rumput" dari masyarakat benar-benar diakomodir.

"Pengelolaan akan efektif bila mengikutsertakan masyarakat. Artinya, dari masyarakat mau seperti apa, pemerintah daerah seperti apa, dan muaranya ditingkat kementerian ada rencana pengelolaan bersama yang menjadi acuan untuk dicapai," kata Syamsidar di Pekanbaru.

Harapan warga pedalaman saat hari kemerdekaan bisa terwujud, lanjutnya, mengingat KLHK sejak 2015 sudah berupaya membenahi pengelolaan kawasan konservasi dalam lima tahun ke depan. Salah satunya adalah dengan membentuk 100 unit pengelolaan kolaboratif bernama Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK).

"Informasinya, Bukit Rimbang Baling masuk sebagai salah satu KPHK yang akan dibangun oleh kementerian," ujarnya.

Menurut dia, secara nyata sudah terlihat keunikan masyarakat setempat karena secara tradisi dan adat, menjaga lingkungan. Karena itu, ia mengatakan WWF juga sudah menginisasi forum DAS Subayang pada Mei 2016, yang manjadi naungan untuk membantu menyuarakan aspirasi mereka.

"Dengan adanya upaya nyata mereka secara sadar menjaga hutan untuk keseimbangan alam jangka panjang, maka sudah jadi tanggung jawab kita semua untuk balik membantu kehidupan masyarakat di sana," katanya.

Setelah Indonesia 71 tahun merdeka, sudah saatnya kita berfikir jangka panjang untuk mengelola hutan dan masyarakat yang rela menjaganya.

(Sebelumnya : Sebuah arti kemerdekaan bagi orang pedalaman)