Puluhan bocah Desa Pangkalan Serai dipedalaman Kabupaten Kampar, Riau, berbaris sambil menggenggam obor untuk menyambut peringatan hari kemerdekaan Indonesia pada Agustus 2016. Dari jauh, mereka terlihat seperti sekelompok kunang-kunang yang menerangi malam.
Dengan lantang mereka menyanyikan lagu-lagu perjuangan sambil berjalan keliling kampung bersama guru dan kepala sekolahnya. Mereka bagaikan "terang" bagi Desa Pangkalan Serai, yang gelap gulita karena tak ada listrik.
Warga desa terlihat semangat memeriahkan peringatan hari kemerdekaan dengan menggelar beragam rangkaian lomba, yang diawali dengan pawai obor puluhan bocah berkeliling kampung. Bahkan, pada 17 Agustus mereka berkumpul dilapangan SDN 016 yang merupakan satu-satunya sekolah disana, untuk memperingati Detik Detik Proklamasi Kemerdekaan RI.
Kearifan Lokal
Pangkalan Serai adalah satu dari 11 desa yang ada di dalam Kawasan Suaka Margasatwa (KSM) Bukit Rimbang Baling. Desa itu berada paling ujung di bagian hulu Sungai Subayang. Permukiman itu dikelilingi lembah dan hutan yang lebat bagaikan permadani hijau. Di tengahnya mengalir sungai yang airnya sangat jernih hingga ikan-ikan terlihat jelas berenang didasarnya.
Namun, untuk menuju desa itu harus penuh perjuangan. Infrastruktur jalan hanya mencapai Desa Tanjung Belit di hilir Sungai Subayang, sekitar 100 kilometer dari Kota Pekanbaru. Selanjutnya, menyusuri sungai hanya bisa dengan perahu kayu bermesin melawan arus deras selama sekitar empat jam. Saat kemarau membuat air sungai surut, perjalanan bisa sampai enam jam karena perahu sering kandas di bebatuan.
Meski begitu, pada mayoritas warga pedalaman "mengalir" jiwa untuk hidup bersama alam. Mereka memiliki kearifan lokal bahwa manusia tidak boleh sembarangan membunuh harimau Sumatera yang juga berhabitat disana.
Sekretaris Desa Pangkalan Serai, Marsani, mengatakan warga pantang berburu harimau karena ada legenda "Kujano". Alkisah, nenek moyang mereka tinggal di kampung bernama "Kujano" yang musnah akibat sekelompok warganya sengaja membantai anak harimau.
"Akibatnya induk harimau mengamuk dan menghabisi seisi kampung, tinggal menyisakan dua adik-beradik selamat. Itulah nasib leluhur kami," katanya.
Kini ada 507 jiwa tinggal di Pangkalan Serai, yang terdiri dari Suku Melayu, Domo dan Benang. Masing-masing suku mewariskan hutan adat yang tidak boleh sembarangan ditebang, dan lahannya haram untuk dijual.
"Kayu dari hutan adat hanya boleh untuk rumah pribadi, palingan hanya butuh menebang dua pohon. Kalau kita melanggar, apalagi menjualnya ke luar, sanksi adatnya yang paling berat adalah dijauhi. Warga kampung tak akan mengundang, apalagi datang ke rumah itu untuk mendoa kemalangan maupun pernikahan," kata Tarmizi (45), yang juga warga Pangkalan Serai.
Ia mengatakan untuk Suku Benang punya hutan adat disepanjang aliran Sungai Kunadi, anak Sungai Subayang, yang berjarak sekira 7 kilometer dari desa. Hutan adat itu tetap lestari penuh tegakan pohon dan tanaman obat. "Mungkin orang tua kita dulu sudah berfikir jauh agar hutan bisa diwariskan ke anak-cucu. Kalau hutan digunakan semua, kasihan warga akan kesulitan mencari kayu," ujarnya.
Orang pedalaman juga punya tradisi unik lainnya dalam menjaga alam. Warga Desa Aur Kuning punya "Sema Rantau", semacam napak tilas keberadaan mereka. Setiap tahun apabila hasil dari karet dan ikan melimpah, warga berziarah ke daerah yang dipercaya jadi tempat nenek moyang bernama "Losung Batu".
"Selama perjalanan dengan perahu sekira satu jam, datuk pucuak atau pemangku adat tertinggi akan berhenti sebanyak tiga kali untuk berkisah tentang sejarah, serta memberi petuah untuk menjaga tradisi dan menjaga hutan," kata Dody (34), warga Desa Aur Kuning.
Tradisi ini kerap dibarengi dengan memotong seekor kerbau yang dagingnya untuk dimakan warga sekampung. Sementara itu, isi perut kerbau diletakan di hutan, dan kepalanya diarung di sungai. "Isi perut kerbau untuk harimau, dan kepalanya untuk ikan. Jadi ini juga semacam syukuran karena rezeki melimpah dari sungai, dan berterima kasih untuk harimau karena tidak menyerang warga," katanya.
Selain itu, ada juga tradisi "Lubuk Larangan" yakni kearifan lokal untuk menangkap ikan. Tradisi ini bertujuan agar warga tidak serakah menangkap ikan di sungai, supaya ketersediaan pangan bisa berkelanjutan. Karena itu, di sepanjang sungai dekat permukiman banyak terlihat tali dibentangkan melintang di atasnya. Itu merupakan penanda bahwa sungai di bawahnya tak boleh digunakan menangkap ikan. Area "Lubuk Larangan" biasanya berupa bagian sungai yang dalam tempat berkembang-biak ikan.
"Lubuk larangan hanya dibuka satu atau dua kali setahun, biasanya saat sebelum bulan puasa atau sesudah lebaran. Karena itu, ikan-ikan yang dipanen biasanya besar-besar ukurannya," kata Ketua Badan Permusyawarahan Desa (BPD) Aur Kuning, Sahrul.
(bersambung)