Namun, menurut dia, Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini belum jelas apa targetnya, sehingga berimplikasi kepada tidak jelas sasaran dan caranya.
Ia juga mengingatkan, adanya KKP untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan yang merupakan pilar dari negara maritim.
"Kami yang menangkap ombak besar menantang badai di laut, mempertaruhkan nyawa di laut itu kita, Pemerintah hanya membuat kebijakan dan memfasilitasi, tetapi strateginya tidak jelas," ucapnya.
Dalam acara Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia Sektor Kelautan di KKP, 17 Februari 2015, Menteri Susi mengatakan, tanpa adanya langkah tegas dan penegakan kedaulatan, maka program mengembangkan sektor kelautan dan perikanan dinilai juga tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
"Untuk menjalankan ini perlu kedaulatan. Tanpa kedaulatan tidak bisa menjalankan program apapun," ujar Susi Pudjiastuti.
Menurut Susi, berbagai peraturan menteri dan surat edaran yang telah dikeluarkannya adalah untuk memperbaiki sumber daya perairan sesuai visi dan misi lautan sebagai masa depan bangsa.
Menteri Kelautan dan Perikanan berpendapat, di Indonesia terlalu banyak ironi dan anomali karena republik ini memiliki beragam sumber daya alam, tetapi tidak bisa dimanfaatkan dengan optimal.
Ia mencontohkan, Indonesia adalah penghasil minyak mentah, tetapi sudah menjadi negara "net" importir, begitu pula di sektor kelautan dan perikanan semakin sedikit rakyat yang mampu memakan kakap merah karena banyak dari komoditas tersebut yang diekspor.
Kepada perwakilan kepala daerah dari 34 provinsi yang hadir, Menteri Susi meminta agar berperan aktif dalam menyosialisasikan setiap kebijakan dari pemerintah pusat sehingga dapat terkomunikasikan dengan baik, sehingga tidak menimbulkan konflik.
"Apabila perbaikan dalam rencana aksi ini ditindaklanjuti, saya meyakini akan tercapainya tujuan bersama, salah satunya adalah memperbaiki tata kelola di sektor kelautan," tuturnya.
Dengan penitikberatan kepada kedaulatan negara, tidak mengherankan bila Menteri Susi juga berfokus kepada pemberantasan pencurian ikan di kawasan perairan Republik Indonesia.
Bahkan, hingga Januari sampai Desember 2015, KKP melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan telah memproses hukum terhadap 148 kapal "illegal fishing", dengan rincian 109 kapal merupakan hasil operasi Direktorat Jenderal PSDKP.
Sedangkan 39 kapal lainnya merupakan limpahan dari TNI AL (1 kapal), Polair (18 kapal), Bakamla (7 kapal), Dinas Kelautan dan Perikanan (8 kapal), Ditjen. Bea dan Cukai (4 kapal), dan Polisi Kehutanan (1 kapal).
Sejumlah 148 kapal tersebut terdiri atas 80 kapal asing yang berasal dari Thailand (7 kapal), Malaysia (8 kapal), Vietnam (46 kapal), dan Filipina (19 kapal). Sedangkan 68 kapal merupakan kapal berbendera Indonesia.
KKP juga pada akhir 2015 telahmenambah empat armada Kapal Pengawas (KP), yakni KP Hiu 012, KP Hiu 013, KP Hiu 014, dan KP Hiu 015 untuk memperkuat pemberantasan pencurian ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).
"Empat kapal pengawas yang diresmikan ini akan menambah jumlah armada Kapal Pengawas Perikanan yang dimiliki oleh KKP menjadi 31 unit dari sebelumnya berjumlah 27 unit yang tersebar di seluruh WPP-NRI," tambah Direktur Jenderal PSDKP Asep Burhanuddin.
Angkat kesejahteraan
Namun, tentu saja pembenahan sektor kelautan dan perikanan tidak hanya sekadar memproses hukum atau bahkan menenggelamkan kapal penangkap ikan ilegal.
Hal tersebut karena ada hal lain yang lebih penting, yaitu meningkatkan tingkat kesejahteraan nelayan dan elemen masyarakat pesisir yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Air, yang masih banyak terjerat kondisi kemiskinan.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mesti menyegerakan solusi atas pelarangan alat tangkap cantrang yang dinilai tidak ramah lingkungan.
"Menteri Kelautan dan Perikanan mesti memimpin penyelenggaraan peta jalan solusi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan gejolak di masyarakat, di antaranya di Jawa Tengah, pasca dilarangnya cantrang sebagai alat tangkap bersama dengan Wali Kota, Bupati dan Gubernur," tukas Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, 24 Maret 2015.
Kiara, ujar dia, telah menyampaikan salah satu solusi kepada Menteri Susi guna menyelesaikan dampak pasca dilarangnya "trawl" dan pukat tarik, yakni penggunaan APBN-P 2015 untuk memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil.
Langkah yang bisa dipilih, lanjutnya, adalah berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota/kabupaten/provinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan.
"Pilihan ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Presiden cq Menteri Keuangan Republik Indonesia," kata Sekjen Kiara.
Untuk menindaklanjutinya, Kiara menemukan sebesar 16,2 persen dari Rp61,87 miliar DAK yang tersebar di 3 kota, 15 kabupaten dan 1 provinsi di Jawa Tengah dikategorikan tidak terlampau penting dan bisa dialihkan untuk mendukung proses peralihan alat tangkap dan pendampingan nelayan kecil di sentra-sentra perikanan tangkap di Jawa Tengah.
Di samping itu, Menteri Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Gubernur/Bupati/Wallikota dan masyarakat nelayan skala kecil di Jawa Tengah dapat menyepakati langkah bersama antara lain penggunaan DAK Kelautan dan Perikanan di dalam APBN 2015 untuk program pemberdayaan nelayan kecil dan pelatihan penggunaan alat tangkap ikan yang ramah.
Selain itu, lanjut Halim, penting pula untuk memastikan tidak adanya kriminalisasi nelayan di masa transisi antara pemerintah, pemda dan aparat penegak hukum di laut.
Atasi ketimpangan
Sedangkan dalam hal pembangunan pelabuhan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik menyoroti ketimpangan infrastruktur serta sarana dan prasarana antara pelabuhan perikanan yang ada di berbagai kawasan nusantara di Tanah Air.
"Pelabuhan perikanan cukup banyak di Indonesia bagian barat, tetapi di Indonesia bagian timur masih minimalis," ucap Riza Damanik, 19 Oktober 2015.
Menurut Riza, sampai saat ini juga dinilai tidak ada perbaikan-perbaikan untuk membenahi pelabuhan perikanan yang dinilai masih timpang tersebut.
Ketum KNTI juga berpendapat bahwa hingga saat ini belum ada keberpihakan guna membangun infrastruktur untuk memperkuat sektor perikanan rakyat.
"Contohnya, sampai hari ini kita punya 40 sentra garam, tetapi sarana dan prasarananya juga tidak dibenahi," imbuhnya.
Dia juga mengingatkan bahwa saat ini selalu disebutkan jumlah unit pengolahan ikan hanya sekitar 1.300 unit yang memiliki kelayakan di berbagai daerah, tetapi jumlah tersebut nisbi stagnan dan tidak ada pertambahan secara signifikan.
Selain itu, Kiara menginginkan berbagai pihak yang memiliki otoritas agar jangan sampai melakukan langkah-langkah yang mengarah kepada komersialisasi atau privatisasi dari pulau-pulau terluar Republik Indonesia.
"Investasi yang seharusnya didorong adalah gotong royong antarmasyarakat dengan pemda setempat, bukan menyerahkan kepada investor asing atau domestik dengan skema privatisasi dan komersialisasi seperti yang dilakukan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan)," tutur Sekjen Kiara Abdul Halim.
Menurut Abdul Halim, rakyat punya semangat gotong royong dan sudah dibuktikan di banyak tempat, seperti dalam program pendampingan Kiara yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
Sedangkan terkait dengan argumen jumlah dana yang tidak memadai dari APBN/APBD untuk mengelola pulau-pulau terluar, Abdul Halim mengingatkan bahwa APBN atau APBD adalah alat untuk menyejahterakan
rakyat dan jumlahnya cukup besar.
"Dikarenakan tidak kreatifnya pemerintah dan pemda berakibat pada tidak terpakainya anggaran untuk kesejahteraan rakyat," ucapnya.
Ia juga mengingatkan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010 terkait empat indikator untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu kemanfaatan SDA bagi rakyat, tingkat pemerataan SDA bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat SDA, dan penghormatan
terhadap hak rakyat secara turun-temurun.
Anggaran pesisir
Kiara juga mendesak agar manfaat terbesar dari anggaran yang dikelola oleh KKP untuk dapat dirasakan seluruh masyarakat pesisir dan tidak hanya segelintir pihak.
"Tanpa kesungguhan pemerintah dalam pengelolaan anggaran untuk sebesar-besar masyarakat pesisir, maka cita-cita poros maritim dunia hanya ramai di tong kosong," kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim di Jakarta, Minggu (13/12).
Pusat Data dan Informasi Kiara pada bulan Desember 2015, mencatat sedikitnya 16 pulau-pulau kecil yang diswastanisasi untuk kepentingan asing.
Bahkan, lanjut dia, untuk kepentingan penyelamatan warga negara dari ancaman perubahan iklim, pemerintah justru mengabaikan fakta permasalah dengan justru mengusulkan skema Karbon Biru.
Selain itu, dia juga menyatakan pembuatan kawasan konservasi seluas 20 juta hektare berpotensi menghilangkan akses masyarakat pesisir, seperti nelayan, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, dan pelestari ekosistem pesisir.
Sebelumnya, KNTI menyatakan potensi perikanan terutama berskala kecil di berbagai daerah di Tanah Air terancam karena sejumlah proyek yang berkedok mengatasi fenomena perubahan iklim.
"Potensi dan konstribusi positif perikanan skala kecil tersebut tengah terancam oleh sederet persoalan yang akhir-akhir ini justru berkedok proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," ujar Ketua Umum KNTI M Riza Damanik ketika dihubungi Antara di Jakarta, Selasa (8/12).
Riza mencontohkan, untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil maka dipromosikanlah penggunaan biofuel sebagai sumber energi alternatif, termasuk dari minyak sawit.
Pada perkembangannya, menurut dia, tidak sedikit ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Indonesia telah dikonversi untuk memenuhi kebutuhan pasar global biofuel.
"Di Kabupaten Langkat Sumatera Utara, sedikitnya 16 ribu hektar hutan mangrove telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, sekitar 17 ribu nelayan dan masyarakat pesisir terganggu ruang hidup dan penghidupannya," kata Ketum KNTI.
Untuk itu, KNTI bersama sejumlah organisasi dan pemerintah daerah tengah melakukan rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi ekologis ekosistem mangrove sebagai tempat pemijahan dan pemeliharaan ikan, serta mencegah meluasnya sedimentasi dan abrasi pantai.
Dengan masih banyaknya aspek yang perlu dibenahi, maka revolusi yang dicetuskan oleh Menteri Susi tentu tidak hanya cukup hanya sebatas penegakan kedaulatan.
Hal tersebut karena aspek lainnya, yang sama esensialnya, yaitu kesejahteraan masyarakat, juga harus disoroti dengan benar-benar oleh KKP dan seluruh pelaku sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air.