Oleh Muhammad Razi Rahman
Jakarta, (Antarariau.com) - Sejak dilantik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan di Istana Merdeka, Jakarta, pada tanggal 27 Oktober 2014 lalu, Susi Pudjiastuti dengan beragam kontroversinya, telah menjadi seorang "revolusioner".
Istilah "revolusioner" yang digunakan di sini adalah dalam artian bahwa Susi Pudjiastuti, sebagai seorang Menteri Kelautan dan Perikanan, telah membawa dan meletakkan banyak-banyak dasar perubahan dalam arah pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
Hal tersebut, meski mendapat tantangan dari sejumlah pihak, tetapi dinilai selaras dengan konsep Poros Maritim Dunia yang menjadi ciri khas pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sejumlah gebrakan kebijakan yang dicetuskan Menteri Susi mendapatkan tantangan, antara lain dari berbagai asosiasi perikanan dan himpunan nelayan menginginkan agar kebijakan sektor kelautan dan perikanan yang otoriter dan tanpa sosialisasi untuk dihentikan, karena tidak memberikan peningkatan kesejahteraan kepada pelaku usaha perikanan.
"Kebijakan yang otoritatif ini stop di sini, tidak boleh ada di negara demokrasi," kata Ketua Umum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Yussuf Solichin, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, Jakarta, 21 Januari 2015.
Berbagai kebijakan Menteri Susi yang dikritik oleh para asosiasi perikanan adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56/2014, No. 57/2014, No. 58/2014, No. 1/2015, dan No. 2/2015.
Sejumlah kebijakan itu antara lain terkait dengan moratorium perizinan kapal penangkap ikan, larangan "transshipment" (alih muatan di tengah laut), dan juga pembatasan sejumlah komoditas seperti lobster, serta pembatasan penyaluran BBM bersubsidi kepada kapal penangkap ikan.
Yussuf mengingatkan bahwa strategi untuk menerapkan ekonomi kelautan terbagi atas tiga komponen, yaitu sasaran, cara, dan sarana-prasarana-anggaran.