Pekanbaru, (Antarariau.com) - Organisasi konservasi satwa WWF menyatakan kabut asap kebakaran lahan dan hutan juga berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup lebah hutan karena membuat produksi madu "Sialang" turun drastis selama masa darurat asap di Provinsi Riau.
"Masyarakat pengumpul madu hutan mengeluhkan hampir satu bulan terakhir tidak bisa panen madu karena sarang lebah kosong," kata Humas WWF Program Riau, Syamsidar, kepada Antara di Pekanbaru, Jumat.
WWF sejak lama mengayomi warga di sekitar hutan untuk menerapkan sistem panen lestari madu hutan. Nama madu "Sialang" yang menjadi sebutan populer di tengah masyarakat Riau, diambil dari nama pohon tempat kawanan lebah bersarang di hutan.
Syamsidar mengatakan, berdasarkan petani madu binaan WWF, kabut asap pekat terutama pada bulan September telah mengganggu perekonomian masyarakat pengumpul madu hutan.
"Biasanya, setiap minggu mereka bisa memanen madu dari beberapa pohon berbeda," katanya.
Menurut informasi dari warga, lanjutnya, lebah sepertinya tidak mau terbang jauh untuk mencari makan karena pekatnya kabut asap. Akibatnya, madu yang ada di dalam sarang dimakan sendiri oleh kawanan lebah untuk bertahan hidup, sehingga ketika dipanen oleh petani sarang banyak dalam kondisi kosong.
"Jadi petani memutuskan tidak panen, padahal biasanya per bulan satu kelompok bisa panen sekitar dua ton," ujar Syamsidar.
Ia mengatakan saat kabut asap warga paling banyak hanya bisa mengumpulkan 16 kilogram madu dari enam sarang. Jumlah itu merosot hampir 50 persen dari kondisi normalnya.
"Memang masih ada beberapa pengumpul madu yang panen, namun mereka bersifat berburu alias tidak mengikuti prosedur panen lestari," katanya.
Metode panen lestari ini merupakan cara agar produksi madu pada satu sarang bisa terjaga dan berkesinambungan, karena warga tidak menghabiskan semua madu Sialang di satu sarang.