Pekanbaru, (Antarariau.com) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyoroti lemahnya pengawasan terhadap hakim yang mengadili kasus kebakaran hutan dan lahan terutama terkait rendahnya vonis, bahkan adanya vonis bebas kepada pelaku pembakaran.
"Selama ini kita menuntut jajaran Polri dan Kejaksaan untuk menangani pelaku pembakar lahan. Tapi kita tidak pernah mengawal ketika kasus tersebut di Pengadilan," kata Intsiawati Ayus yang merupakan anggota DPD asal Riau di Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru.
Anggota DPD dua periode itu menyayangkan sejumlah kasus kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan selalu berakhir dengan hukuman rendah. Bahkan hakim tidak jarang memvonis bebas kepada pelaku pengrusakan lingkungan.
Karena itu, wanita kelahiran Bengkalis tersebut mengatakan akan meminta kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan pembinaan dalam struktu kehakiman yang khusus menangani kasus pengrusakan lingkungan.
Selain itu dia juga meminta kepada sejumlah anggota DPD yang berasal dari provinsi yang saat ini terpapar asap tersebut untuk bersatu dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya kebakaran lahan.
Kasus lemahnya penanganan hakim terhadap terdakwa pembakaran lahan pernah terjadi di Bengkalis. Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis menjatuhkan vonis bebas terhadap dua petinggi PT NSP.
General Manajer Erwin dinyatakan tidak terbukti bersalah dalam kasus kebakaran lahan dan hutan pada 2014 yang menghanguskan lahan seluas 21.418 hektare di Desa Tapak Baru, Teluk Buntal Tanjung Sari, Lukut, Tanjung Gadai dan Tanjung Suwir, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti.
Terdakwa yang sama, bersama dengan Manajer NSP Nowa Dwi Priono juga dinyatakan tak bersalah dalam perkara limbah berbahaya atau limbah B3.
Keputusan ini bertolak belakang dengan tuntutan JPU. Erwin dituntut enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Sedangkan untuk kasus limbah B3, jaksa menuntut hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp1 miliar.
Sidang pembacaan vonis ini dipimpin Ketua PN Bengkalis Sarah Louis dengan hakim anggota Melki Silahuddin dan Reni Hidayati pada 22 Januari lalu.
Sementara itu, vonis terhadap perusahaan yang diwakili Direktur Utama Eris Ariaman juga lebih rendah dari tuntutan jaksa. Hakim menjatuhkan denda Rp2 miliar kepada perusahaan dan denda tambahan berupa melengkapi alat pencegahan kebakaran sesuai dengan petunjuk dalam jangka waktu satu tahun.
Vonis terhadap PT NSP lebih ringan dibanding tuntutan JPU yang menuntut denda Rp5 miliar dan pidana tambahan Rp1,046 triliun untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran hutan dan lahan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau juga sempat menyoroti vonis rendah tersebut. "Vonis bebas terhadap dua petinggi PT NSP tersebut merupakan buntut dari komitmen yang rendah dari Pengadilan Negeri Bengkalis dalam menangadili kasus yang berkaitan dengan lingkungan hidup, kebakaran dan asap," kata perwakilan Walhi Riau, Boy Sembiring.
Walhi menduga terjadi sejumlah kecurangan proses pengadilan yang dilakukan oleh majelis hakim PN Bengkalis. Di antaranya proses pengadilan yang cukup singkat, hanya dua bulan.
Dia membandingkan proses penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Riau hingga berkas penyidik dinyatakan lengkap oleh jaksa untuk kemudian dilakukan kewajiban penyerahan tersangka dan barang bukti kepada jaksa atau P21 membutuhkan waktu hingga 10 bulan.
"Untuk kasus sebesar ini dan proses pengadilan yang memakan waktu cukup singkat ini adalah dugaan kecurangan lainnya dari Walhi," ujarnya.
Dia juga mengatakan pelanggaran yang dimaksud di antaranya adalah penetapan hakim yang mengadili PT NSP seharusnya memiliki sertifikat lingkungan, namun PN Bengkalis tidak menetapkan hakim seperti yang dimaksud.