Sepucuk Surat dari Senyap Perang: Hidup di Tengah Gencatan Senjata Israel--Gaza

id Gaza, Palestina

Sepucuk Surat dari Senyap Perang: Hidup di Tengah Gencatan Senjata Israel--Gaza

Ilustrasi - Foto yang diabadikan pada 20 November 2025 ini menunjukkan sebuah boneka diantara puing-puing reruntuhan sebuah rumah yang hancur akibat serangan udara Israel di lingkungan Al-Zeitoun, sebelah timur Kota Gaza. (ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Yerusalem (ANTARA) - Mohamed Alazeb, seorang mahasiswa di Gaza yang membagikan kehidupan sehari-harinya di media sosial, harus belajar di sebuah meja kayu kecil di tenda darurat sejak gencatan senjata Gaza yang mulai diberlakukan pada 10 Oktober, membawa ketenangan yang relatif di wilayah kantong tersebut dan memungkinkan dirinya untuk melanjutkan studi.

Meja tersebut sangat rendah dan tidak nyaman sehingga dia harus membungkuk dan menekuk kakinya ke dalam saat menulis.

"Belajar di tenda sangat melelahkan dan terasa seperti tantangan yang sia-sia dan tidak menyenangkan," ujarnya. "Namun, saya siap melakukannya."

Di seberang perbatasan di Israel, meja-meja disiapkan untuk tujuan yang berbeda.

Baca juga: Slovenia Hadirkan Dukungan, Salurkan 1,2 Juta Euro bagi Palestina

Untuk waktu yang lama dalam dua tahun terakhir, sebuah meja panjang yang terdiri dari beberapa meja kecil diletakkan di Lapangan Sandera (Hostages Square) di Tel Aviv. Menghadap ke arah markas militer, meja itu dikelilingi oleh 48 kursi kosong, dan di masing-masing kursi tersebut terdapat foto seorang tawanan.

Sebelum gencatan senjata diberlakukan, keluarga-keluarga berkumpul di sekitar meja setiap akhir pekan, berteriak hingga larut malam: "Gencatan senjata sekarang! Kembalikan mereka semua!"

Dari 48 sandera yang ditawan oleh militan Palestina, 20 orang telah dipulangkan bersama jasad 25 orang lainnya, sementara tiga jasad belum dikembalikan ke Israel. Dahulu merupakan simbol reuni, meja itu juga berfungsi sebagai monumen ketiadaan.

Dua meja. Dua bangsa. Satu perang yang sama. Dampaknya menyentuh setiap kehidupan di sini.

Bagi sebagian teman saya dari Israel dan Palestina, perang jarang benar-benar "berakhir."

Seorang warga Palestina pernah mengatakan kepada saya bahwa kata untuk gencatan senjata dalam bahasa Arab, yakni "Hudna", memiliki arti "tenang", bukan "akhir". "Ketenangan ditakdirkan untuk hancur, selama penindasan masih berlanjut," tuturnya.

Seorang teman dari Israel pernah mengatakan kepada saya bahwa, dalam pola pikir keamanan Israel, perdamaian hanyalah "jeda" di antara dua perang. "Dikelilingi musuh, Israel menjalani setiap hari dengan bersiap menghadapi yang berikutnya."

Namun, ketenangan yang relatif selama sebulan terakhir telah membuat banyak orang di Palestina dan Israel meyakini bahwa perang mungkin setidaknya sudah berhenti untuk sementara. Para pemimpin politik dari kedua belah pihak telah menyatakan "kemenangan".

Israel mengatakan bahwa pihaknya telah mengubah krisis menjadi peluang, menghancurkan kapasitas militer Hamas, memukul mundur Hizbullah, menggulingkan rezim lama Suriah, dan mengekang ancaman nuklir Iran.

Hamas juga mengeklaim kemenangan. Setelah kobaran api dan pertumpahan darah, Hamas mengatakan bahwa "agresi Zionis" telah dihalau, Israel dikutuk secara global, negara Palestina diakui oleh lebih banyak negara, serta perjuangan kenegaraan Palestina semakin kuat.

Dalam beberapa jam setelah penarikan pasukan Israel dari Gaza City, pasukan keamanan Hamas telah kembali menguasai jalan-jalan utama.

Bagi saya, perang juga telah meninggalkan jejaknya.

Saya menjadi sangat sensitif terhadap setiap suara. Suara mesin mobil bisa tiba-tiba membuat jantung saya berdebar kencang, suara mesinnya terlalu mirip dengan sirene peringatan. Di tempat umum, saya tetap waspada. Di dalam bus, setiap gerakan mendadak, suara yang tidak biasa, atau bayangan aneh bisa membuat saya bangkit dan melarikan diri.

Selama 12 hari paling menegangkan dalam konflik Iran-Israel, saya hampir tidak merasa lapar atau perlu tidur. Satu hari yang tenang membuat saya gelisah. Mengapa tidak ada rudal yang datang? Ketika sirene yang familier meraung dan disusul oleh ledakan-ledakan, saya justru akhirnya bisa tertidur lelap.

Banyak area yang juga dipetakan ulang. Situs-situs bersejarah, jalur pendakian, kafe, dan toko buku yang hendak saya dikunjungi sebelum ditugaskan ke Israel kini telah digantikan oleh titik-titik konflik, pangkalan-pangkalan Israel di sepanjang perbatasan Gaza, dan bangunan-bangunan yang hancur akibat serangan rudal.

Sebagai jurnalis foto di Yerusalem, saya kini memiliki kebiasaan menulis buku harian. Waktu tidak lagi diukur dengan kalender, melainkan dengan tindak kekerasan: "Saat Festival Pertengahan Musim Gugur 2024, Israel melancarkan serangan pager terhadap Hizbullah"; "13 Juni menandai pecahnya putaran kedua konflik Iran-Israel"; "Tahun ini menandai tahun kedua konflik Israel-Palestina". Saya mengisi buku catatan saya dengan peristiwa-peristiwa tersebut.

Pada 9 Oktober, hari ketika Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata setelah lebih dari dua tahun berperang, saya membuka kalender yang penuh dengan catatan dan membubuhkan tanda tanya di samping tanggal tersebut. "Mungkinkah ini menandai awal dari perdamaian yang kekal?"

Baca juga: OKI Sambut Hangat Resolusi PBB yang Perkokoh Hak Rakyat Palestina

Seperti kebanyakan warga Israel dan Palestina, saya berharap permusuhan tidak pernah terulang. Namun, saya tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi mereka untuk berdamai dan hidup berdampingan dengan rukun.

Masih ada jalan panjang yang harus ditempuh sebelum orang-orang dapat menemukan jawaban atas pertanyaan itu, bukan dalam janji-janji atau jeda sementara, tetapi dalam kehidupan sehari-hari yang bebas dari gangguan.

Pewarta :
Editor: Vienty Kumala
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.