Melirik Nuklir Bagi Energi Masa Depan Indonesia

id melirik nuklir, bagi energi, masa depan indonesia

Melirik Nuklir Bagi Energi Masa Depan Indonesia

Oleh Roy Rosa Bachtiar

Jakarta, (Antarariau.com) - Saat ini wacana diversifikasi tengah menjadi tren perbincangan dalam kajian pemberdayaan energi nasional yang memunculkan sejumlah ide mengenai sumber energi terbaru bagi Indonesia.

Sumber tenaga mulai dari geothermal atau panas bumi, hydro (air), tenaga angin, hingga nuklir, dimunculkan pengkajiannya demi satu tujuan, yaitu menggantikan bahan bakar fosil.

Pemerintah pun menunjukkan "rasa jenuh" terhadap alokasi pembiayaan untuk energi fosil tersebut, seperti yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said beberapa waktu lalu.

Dia meminta kepada seluruh kalangan dan lapisan masyarakat agar memikirkan sumber energi baru selain energi fosil, karena kebutuhan tersebut ia anggap sudah mendesak.

"Kita habis-habisan memberi subsidi energi yang akan habis. Rp2.600 triliun kita keluarkan dalam 10 tahun untuk fosil, tapi subsidi untuk energi baru sangat kecil," katanya.

Ia juga mengimbau kepada pemerintah dan masyarakat, agar mengubah pola pikir bahwa sumber energi baru bukan lah energi alternatif seperti yang dipahami secara umum selama ini.

"Jangan lagi menyebut ini alternatif, karena itu artinya cuma cadangan. Sekarang harus berpikir bahwa yang baru justru yang utama, karena yang fosil pasti akan habis pada waktunya," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyatakan dukungannya pada upaya diversifikasi energi, asalkan memiliki unsur bersih untuk lingkungan, berharga murah dan mudah didapat.

Menurut Wapres, jika membicarakan masalah diversifikasi energi di Indonesia, maka pemerintah dalam menentukan kebijakan harus mempertimbangakan tiga hal tersebut.

Kalla mengatakan bahan bakar minyak (BBM) merupakan satu jenis energi yang termahal, ujarnya, saat menjadi pembicara utama dalam Seminar Indonesia dan Diversifikasi Energi yang mengangkat tema "Menentukan Arah Kebijakan Energi Indonesia" di Jakarta.

Wapres JK juga menegaskan pengembangan sumber energi di masing-masing daerah di Indonesia harus sesuai dengan ketersediaan energi.

"Pertama harus tersedia (sumber energi) dengan mudah. Ada daerah yang katakanlah Pulau Kalimantan, tentu lebih mudah memakai sumber energi batu bara. Kalau di Pulau Sulawesi tentu campuran bisa (menggunakan) energi "hydro" atau air. Untuk di Pulau Sumatera hydro juga cukup tapi energi geothermal juga bisa. Untuk di Pulau Jawa juga ada geothermal," ujarnya.

Menurut Kalla, tenaga nuklir juga bisa menjadi pilihan energi alternatif karena memiliki potensi yang besar, walaupun lingkungan internasional memliki pendapat yang berbeda-beda mengenai penggunaannya.

"Jepang sudah ingin menurunkan (penggunaan) nuklirnya akibat tragedi Fukushima. Juga di Amerika Serikat (sebelumnya) tidak berkembang banyak dan sekarang mulai berkembang," ujar Kalla.

Selain itu Korea Selatan dan Vietnam juga tengah mengembangkan PLTN untuk meningkatkan pasokan tenaga listriknya.

Sementara itu, Ketua Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (Himni) Arnold Soetrisnanto mengatakan jalan keluar dari permasalahan listrik di Tanah Air adalah dengan memanfaatkan pusat listrik tenaga nuklir (PLTN).

"Namun solusi ini adalah untuk jangka panjang, karena pembangunan PLTN memerlukan waktu sedikitnya delapan hingga 10 tahun," katanya.

Kendala besar yang dihadapi PLTN adalah masih adanya perbedaan persepsi di kalangan masyarakat termasuk di kalangan penentu kebijakan energi.

"Masih ada kekhawatiran bahwa bangsa Indonesia belum mampu untuk mengoperasikan teknologi canggih tersebut," tukas Arnold.

Padahal, lanjut Arnold, tenaga ahli Indonesia sudah diakui dunia, bahkan beberapa tenaga ahli sudah bekerja di Badan Atom PBB.

"Sebaiknya jangan ditunda-tunda lagi, pembangunan PLTN ini," kata dia.

Berbagai kendala dihadapi oleh para investor dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), di antaranya rendahnya harga minyak dewasa ini, biaya eksplorasi yang sangat mahal dan berisiko, faktor efisiensi energi yang masih rendah, ongkos produksi yang belum mencapai harga keekonomian dan adanya benturan kepentingan antara untuk memenuhi kebutuhan energi dengan kebutuhan pangan.

Hal itu membuat krisis listrik semakin nyata. Berbagai upaya untuk mengatasinya sudah dilakukan oleh kalangan pemerintah, pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pemenuhan kebutuhan listrik sudah dilaksanakan dengan program percepatan pembangunan pusat listrik berbahan bakar batubara 10.000 MW pada tahap I dan dilanjutkan dengan 10.000 MW pada tahap II dengan pusat listrik panas bumi.

Namun dalam perkembangannya kedua program tersebut tidak mencapai target. Banyak hal menjadi penyebab gagalnya proyek, di antaranya adalah penolakan masyarakat yang tinggal di dekat calon lokasi pusat listrik, penyelesaian pembangunan yang tertunda dan sulitnya membebaskan lahan untuk pembangunan pembangkit.

Bersambung ke hal 2 ...