SKK-MIGAS: "Cost Recovery" Investasi Hulu Migas

id skk-migas cost, recovery investasi, hulu migas

SKK-MIGAS: "Cost Recovery" Investasi Hulu Migas

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Migas (SKK Migas) menyatakan "Cost recovery" banyak dipersoalkan karena dianggap sebagai kehilangan penerimaan negara, padahal itu adalah bentuk investasi yang memungkinkan kegiatan usaha hulu migas menghasilkan penerimaan negara.

"Sesuai dengan konstitusi, kegiatan hulu minyak dan gas bumi merupakan bisnis negara. Layaknya bisnis pada umumnya, proyek hulu migas juga memerlukan investasi sebagai modal untuk menjalankan eksplorasi dan produksi," kata Kepala SKK Migas Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), Hanif Rusdi lewat pesan elektronik yang diterima, Jumat.

Selain memerlukan investasi yang besar, kegiatan ini juga memiliki risiko yang tinggi, negara kemudian mengundang investor untuk menjadi kontraktor yang bekerja bagi negara melakukan kegiatan operasi industri hulu migas.

Ia mengatakan, Kkerja sama ini disepakati melalui mekanisme Kontrak Bagi Hasil, atau Production Sharing Contract (PSC), yang mensyaratkan kontraktor untuk menyediakan investasi, skill dan teknologi untuk menggarap wilayah kerja migas.

Pada saat wilayah itu telah berproduksi, lanjut dia, negara dan kontraktor akan berbagi keuntungan setelah penerimaan negara dikurangi dengan beberapa faktor pengurang, termasuk pengembalian biaya operasi atau "cost recovery" tersebut.

"Nah, cost recovery inilah yang kemudian banyak dipersoalkan karena dianggap sebagai kehilangan penerimaan negara akibat diambil oleh kontraktor. Padahal, cost recovery sejatinya adalah investasi yang tanpanya tidak mungkin kegiatan usaha hulu migas bisa berjalan dan menghasilkan penerimaan negara," katanya.

"Cost recovery" yang meningkat kerap menuai kritik, padahal bila dicermati, investasi yang terus meningkat setiap tahunnya menjadi salah satu faktor pendukung peningkatan penerimaan negara dari sektor hulu migas.

Sebagai ilustrasi, katanya, pada 2009, besaran "cost recovery" adalah 10,109 miliar dolar AS, sedangkan penerimaan negara mencapai 19,950 miliar dolar AS.

Kemudian pada 2010, nilai "cost recovery" menjadi 11,763 miliar dolar AS atau meningkat 16,36 persen, tapi penerimaan negara meningkat lebih besar yaitu dari 19,950 miliar dolar AS menjadi 26,497 miliar dolar atau naik 32,82 persen.

"Tren yang sama terjadi pada 2011. Besaran cost recovery naik menjadi 15,216 miliar Dolar, atau meningkat 29,35 persen, sedangkan penerimaan negara naik hingga mencapai 35,850 miliar Dolar atau meningkat 35,3 persen," katanya.

Selain menghasilkan penerimaan negara, menurut dia investasi ini juga memiliki multiplier effect karena dana yang sangat besar itu digunakan di dalam negeri sehingga mendorong majunya sektor-sektor lain di luar industri hulu migas.

Sebagai gambaran, kata dia, nilai seluruh komitmen pengadaan barang dan jasa bulan Januari-September 2013 mencapai 8,813 miliar dolar AS dengan persentase Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) mencapai 54,18 persen (cost basis).

Kegiatan pengadaan barang dan jasa industri hulu migas ini kata dia juga memberikan efek positif bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari 2010 sampai Agustus 2013, pengadaan barang dan jasa industri hulu migas yang dilakukan melalui BUMN mencapai 3,02 miliar dolar AS dengan persentase TKDN sebesar 73,46 persen.

"Uraian tersebut jelas memperlihatkan bahwa penggantian biaya operasi (cost recovery) tidak bisa semata-mata dilihat sebagai pengurang penerimaan negara, tapi adalah investasi yang justru mendukung realisasi penerimaan negara dari sektor ini sekaligus menjadi multiplier effects pada ekonomi nasional," katanya.

Tentu saja, katanya, penggantian biaya operasi ini harus diawasi dan dikendalikan. Semangatnya adalah untuk menghindari pembebanan yang tidak tepat, bukan semata-mata untuk memangkas "cost recovery".

Menurut dia, pengurangan "cost recovery" antara lain akan berujung kepada pengurangan anggaran eksplorasi, pengeboran pengembangan dan workover, hingga pemangkasan biaya operasi produksi.

"Ini tentunya akan berdampak pada produksi migas nasional. Produksi dari lapangan yang sudah ada terancam turun dan produksi dari lapangan baru terancam mundur. Pada akhirnya, pembatasan biaya operasi tidak hanya akan membahayakan realisasi penerimaan negara, tetapi juga kelangsungan ketersediaan migas di Indonesia," katanya.