Cost Recovery: Pengurang Penerimaan Negara vs Investasi

id cost recovery, pengurang, penerimaan negara, vs investasi

Cost Recovery:  Pengurang Penerimaan Negara vs Investasi

Cost recovery banyak dipersoalkan karena dianggap sebagai kehilangan penerimaan negara. Padahal cost recovery adalah investasi yang memungkinkan kegiatan usaha hulu migas menghasilkan penerimaan negara.

--

Sesuai dengan konstitusi, kegiatan hulu minyak dan gas bumi (migas) merupakan bisnis negara. Layaknya bisnis pada umumnya, proyek hulu migas juga memerlukan investasi sebagai modal untuk menjalankan eksplorasi dan produksi. Mengingat kegiatan ini selain memerlukan investasi yang besar juga memiliki risiko yang tinggi, negara kemudian mengundang investor untuk menjadi kontraktor yang bekerja bagi negara melakukan kegiatan operasi industri hulu migas.

Kerja sama ini disepakati melalui mekanisme Kontrak Bagi Hasil, atau Production Sharing Contract (PSC), yang mensyaratkan kontraktor untuk menyediakan investasi, skill dan teknologi untuk menggarap wilayah kerja migas. Pada saat wilayah itu telah berproduksi, negara dan kontraktor akan berbagi keuntungan setelah penerimaan negara dikurangi dengan beberapa faktor pengurang, termasuk pengembalian biaya operasi atau cost recovery tersebut.

Nah, cost recovery inilah yang kemudian banyak dipersoalkan karena dianggap sebagai kehilangan penerimaan negara akibat diambil oleh kontraktor. Padahal, cost recovery sejatinya adalah investasi yang tanpanya tidak mungkin kegiatan usaha hulu migas bisa berjalan dan menghasilkan penerimaan negara.

Cost recovery yang meningkat kerap menuai kritik, padahal bila dicermati, investasi yang terus meningkat setiap tahunnya menjadi salah satu faktor pendukung peningkatan penerimaan negara dari sektor hulu migas. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2009, besaran cost recovery adalah US$10,109 miliar, sedangkan penerimaan negara mencapai US$19,950 miliar. Pada 2010, nilai cost recovery menjadi US$11,763 miliar, atau meningkat 16,36 persen, tapi penerimaan negara meningkat lebih besar, yaitu dari US$19,950 miliar menjadi US$26,497 miliar, atau naik 32,82 persen. Tren yang sama terjadi pada 2011. Besaran cost recovery naik menjadi US$15,216 miliar, atau meningkat 29,35 persen, sedangkan penerimaan negara naik hingga mencapai US$35,850 atau meningkat 35,3 persen.

Selain menghasilkan penerimaan negara, investasi ini juga memiliki multiplier effect karena dana yang sangat besar itu digunakan di dalam negeri sehingga mendorong majunya sektor-sektor lain di luar industri hulu migas. Sebagai gambaran, nilai seluruh komitmen pengadaan barang dan jasa bulan Januari-September 2013 mencapai US$8,813 miliar dengan persentase Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) mencapai 54,18 persen (cost basis). Kegiatan pengadaan barang dan jasa industri hulu migas ini juga memberikan efek positif bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari tahun 2010 sampai Agustus 2013, pengadaan barang dan jasa industri hulu migas yang dilakukan melalui BUMN mencapai US$3,02 miliar dengan persentase TKDN sebesar 73,46 persen.

Uraian di atas jelas memperlihatkan bahwa penggantian biaya operasi (cost recovery) tidak bisa semata-mata dilihat sebagai pengurang penerimaan negara, tapi adalah investasi yang justru mendukung realisasi penerimaan negara dari sektor ini sekaligus menjadi multiplier effects pada ekonomi nasional.

Tentu saja, penggantian biaya operasi ini harus diawasi dan dikendalikan. Semangatnya, menghindari pembebanan yang tidak tepat, bukan semata-mata untuk memangkas cost recovery. Pengurangan cost recovery antara lain akan berujung kepada pengurangan anggaran eksplorasi, pengeboran pengembangan dan workover, hingga pemangkasan biaya operasi produksi. Ini tentunya akan berdampak pada produksi migas nasional. Produksi dari lapangan yang sudah ada terancam turun dan produksi dari lapangan baru terancam mundur. Pada akhirnya, pembatasan biaya operasi tidak hanya akan membahayakan realisasi penerimaan negara, tetapi juga kelangsungan ketersediaan migas di Indonesia.

--