Pekanbaru (ANTARA) - Langit timur pagi itu berpendar merah muda, seakan membisikkan janji hari yang cerah. Di sebuah rumah sederhana di RT 006/RW 005, Kecamatan Lima Puluh, Pekanbaru, seorang lelaki bergegas menyiapkan perbekalannya: ember besar, selembar basahan, sebungkus makanan ringan, kopi hitam kesayangan, dan sebuah jaring bulat bernama tanggok.
"Tanggok ini sudah tujuh tahun jadi teman setia," ujar Ibob, nelayan cacing sutra berusia 37 tahun, sembari meneliti apakah ada lubang halus yang menganga.
Di Pekanbaru, tanggok bukan sekadar alat. Ia adalah identitas, semacam kartu pengenal bagi nelayan cacing sutra. Warnanya pun disesuaikan dengan batas kawasan, seakan menjadi paspor kecil untuk menapaki alur sungai. "Tidak boleh sembarangan masuk. Ada wilayah yang sudah jadi kesepakatan. Tanggok ini senjata sekaligus tanda siapa kita di sungai," lanjutnya.
Tradisi Sungai yang Turun-Temurun
Di tepian Sungai Sail, hanya puluhan meter dari rumahnya, Ibob menuruni tanggul. Rambutnya yang pirang kecokelatan disapu angin lembut. Sejak kecil ia akrab dengan lumpur sungai, mengikuti jejak ayahnya yang juga nelayan cacing sutra.Namun, sungai yang dulu ramah kini kian renta. Abrasi menggerus Daerah Aliran Sungai (DAS) Sail, airnya keruh, dasar lumpurnya menipis. Semua itu berimbas pada tangkapan.
"Sepuluh tahun lalu sekali turun bisa dapat 20 sampai 25 tekong," kenang Ibob, menyebut kaleng susu kental manis yang dijadikan satuan hasil tangkapan. "Sekarang paling 10 tekong."
Hitungan sederhana itu mencerminkan derita. Dulu, sekali melaut ke sungai bisa menghasilkan Rp260.000 hingga Rp400.000. Kini, hasil tangkapan hanya separuhnya.
Emas Merah dari Lumpur
Meski kecil dan rapuh, cacing sutra adalah emas merah bagi nelayan. Satu tekong dijual Rp13.000 ke agen, atau Rp16.000 bila langsung ke petani ikan. Pasarnya jelas: pembibitan ikan di Kampar, Koto Kampar, Bangkinang, hingga Sungai Pagar.Bahkan, kampung patin yang terkenal pun kerap kekurangan pasokan, sehingga harus mendatangkan dari Medan. Namun, cacing sutra dari Pekanbaru lebih diminati. Alasannya sederhana: ia segar, hidup, dan berdenyut, tidak seperti cacing Medan yang sudah dibekukan.
Ancaman Abrasi, Asa yang Tersisa
Sungai Sail bukan sekadar bentang air, ia adalah nadi kehidupan bagi ratusan keluarga di bantaran Siak, Sail, Paus, hingga Rumbai. Lebih dari 65 persen warga di sepanjang aliran ini menggantungkan hidup pada hasil sungai—dari nelayan cacing sutra, petani sayur, hingga peternak kecil.Namun setiap tahun, tebing sungai terkikis rata-rata satu meter. Jika dibiarkan, mata pencarian itu akan hilang, hanyut bersama abrasi.
Tangan yang Menanam Harapan
Keresahan itu mengetuk pintu Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut. Lewat program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), mereka menebar 500 bibit rumput vetiver—akar wangi dengan akar sekuat seperenam kawat baja—di bantaran DAS Sail.Program ini dikemas dalam Siak Jaga Alam, Masyarakat Berdaya (SEJAMBA). Tak hanya menahan abrasi, vetiver juga memperbaiki kualitas air, mengurangi banjir, sekaligus menjadi pakan kambing dengan kandungan nutrisi tinggi. "Upaya ini bagian dari konservasi sempadan sungai dan menjaga ekosistem," ujar Romi Bahtiar, Pjs. Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Sumbagut.
Harapan itu tidak ditanam sendiri. Pemerintah Kelurahan Tanjung Rhu, Dinas Pertanian dan Perikanan, hingga Dinas Lingkungan Hidup Kota Pekanbaru ikut hadir, bergandengan dengan masyarakat.
Dari Sungai untuk Masa Depan
Dwi Pujianto Putro dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Pekanbaru menyebut program ini sejalan dengan 23 prioritas pembangunan kota, salah satunya naturalisasi sungai. "Ini nyata, bentuk sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat," katanya.Partisipasi warga pun tidak berhenti di seremoni. Mereka akan terus merawat vetiver hingga tumbuh kuat, sekaligus memanfaatkannya sebagai pakan ternak. Dengan begitu, manfaatnya berlapis: sungai terlindungi, nelayan terbantu, ternak pun tercukupi.
Langit sore di Sungai Sail memantulkan cahaya emas. Di balik riak yang tenang, tersimpan kisah tentang cacing sutra, tentang nelayan yang bertahan, dan tentang seutas akar wangi yang ditanam sebagai janji masa depan.