Moskow (ANTARA) - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden transisi Suriah Ahmed al-Sharaa akhirnya menyepakati gencatan senjata yang dinilai sebagai terobosan besar menuju stabilitas kawasan. Kesepakatan ini diumumkan oleh Thomas Barrack, Duta Besar Amerika Serikat untuk Turki sekaligus Utusan Khusus untuk Suriah, melalui unggahannya di platform X.
"Kesepakatan ini terwujud berkat dukungan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dan didukung oleh Turki, Yordania, serta negara-negara tetangga lainnya," tulis Barrack. Ia juga menyerukan kepada kelompok Druze, Badui, dan Sunni untuk menghentikan kekerasan dan bersama-sama membangun Suriah yang baru—damai, bersatu, dan sejahtera bersama negara-negara sekitarnya.
Baca juga: Lebih 400 ribu pengungsi dilaporkan telah kembali ke Suriah sejak Assad digulingkan
Upaya diplomatik ini menyusul pernyataan Menlu Turki Hakan Fidan kepada Rubio bahwa Ankara siap berkolaborasi dengan Washington untuk mengakhiri konflik Suriah secara permanen.
Gencatan senjata ini datang di tengah meningkatnya ketegangan antar komunitas di Suriah. Pekan lalu, serangan kelompok bersenjata Badui terhadap permukiman Druze di Suwayda memicu bentrokan berdarah yang menewaskan lebih dari 30 orang dan melukai lebih dari 100 lainnya, termasuk 20 prajurit loyalis pemerintah transisi.
Sebagai tanggapan, Kementerian Pertahanan Suriah mengerahkan militer dan pasukan keamanan ke Suwayda dan menarik peralatan berat dari kota tersebut menuju Damaskus. Langkah ini dimaksudkan untuk mengakhiri kehadiran kelompok bersenjata ilegal di wilayah itu.
Baca juga: Amerika Serikat cabut sanksi Suriah, Jerman: Saatnya bangun masa depan baru
Israel, yang memerintahkan serangan mendadak terhadap pasukan Suriah pekan lalu, mengklaim aksinya didorong oleh solidaritas terhadap komunitas Druze, yang memiliki ikatan sejarah kuat dengan komunitas Druze di Israel.
Dengan gencatan senjata ini, harapan pun tumbuh bahwa kawasan Timur Tengah dapat memasuki babak baru—lebih tenang dan penuh harapan akan rekonsiliasi.
Sumber: Sputnik/RIA Novosti-OANA