Singapura (ANTARA) - Harga minyak turun di awal perdagangan Asia pada Selasa pagi, memperpanjang kerugian hampir dua persen sesi sebelumnya, karena dolar AS yang lebih kuat dan peningkatan kasus COVID-19 di China meningkatkan kekhawatiran akan melambatnya permintaan global.
Minyak mentah berjangka Brent tergelincir 57 sen atau 0,6 persen, menjadi diperdagangkan di 95,62 dolar AS per barel pada pukul 00.31 GMT, setelah jatuh 1,73 dolar AS di sesi sebelumnya.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS diperdagangkan di 90,58 dolar AS per barel, terpangkas 55 sen atau 0,6 persen, setelah kehilangan 1,51 dolar AS di sesi sebelumnya.
Dolar AS naik untuk sesi keempat berturut-turut pada Senin (10/10/2022) karena investor bersiap untuk data inflasi tinggi yang dirilis minggu ini, yang mengarah ke ekspektasi kebijakan moneter agresif lanjutan dari Federal Reserve.
Greenback yang kuat mengurangi permintaan minyak karena membuatnya lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.
Kenaikan suku bunga sampai saat ini mulai memperlambat ekonomi dan beban penuh dari kebijakan yang lebih ketat tidak akan terasa selama beberapa bulan mendatang, Wakil Ketua Fed Lael Brainard mengatakan pada Senin (10/10/2022).
"Data pekerjaan yang kuat telah memperkuat ekspektasi kenaikan suku bunga 75 basis poin lagi pada pertemuan Fed bulan depan, meninggalkan risiko penurunan untuk permintaan minyak global," kata analis ANZ Research dalam sebuah catatan, dikutip dari Reuters.
Kebijakan nol COVID-19 yang berkelanjutan di China menjelang kongres Partai Komunis "tidak membantu" permintaan, tambah para analis.
Kasus COVID-19 di konsumen minyak terbesar kedua di dunia itu naik ke level tertinggi sejak Agustus. Aktivitas jasa-jasa pada September mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam empat bulan, karena pembatasan pandemi membebani.
Ribuan kasus yang disebabkan oleh sub-varian Omicron BF.7 yang sangat menular telah dilaporkan di Mongolia Dalam sejak awal Oktober, mengubah wilayah itu menjadi pusat COVID terbaru di negara itu.
Membatasi kerugian, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, bersama-sama dikenal sebagai OPEC+, memutuskan pekan lalu untuk menurunkan target produksi mereka sebesar 2 juta barel per hari, yang semakin meningkatkan kekhawatiran tentang pengetatan pasokan minyak.
"Masalah pasokan tetap ada karena sanksi terhadap Rusia, terutama ketika Uni Eropa melarang impor minyak Rusia menjelang akhir tahun," kata analis CMC Markets Tina Teng.
Sanksi Uni Eropa terhadap minyak mentah dan produk minyak Rusia akan berlaku masing-masing pada Desember dan Februari, sementara blok tersebut pekan lalu memberikan persetujuan akhir untuk serangkaian sanksi baru terhadap Rusia termasuk pembatasan harga pada ekspor minyak Rusia.
India mempertahankan "dialog yang sehat" dengan Rusia dan akan melihat apa yang ditawarkan menyusul perubahan kepemilikan yang diumumkan untuk proyek minyak dan gas Sakhalin-1, kata Menteri Perminyakan Hardeep Singh Puri kepada Reuters.
Pada Jumat (7/10/2022), Rusia mengeluarkan dekrit yang mengizinkannya untuk merebut 30 persen saham Exxon Mobil dan memberi wewenang kepada perusahaan milik negara Rusia untuk memutuskan apakah pemegang saham asing termasuk ONGC Videsh India dapat mempertahankan partisipasi mereka dalam proyek tersebut.
Baca juga: Harga minyak di perdagangan Asia jatuh, dipicu dolar kuat jelang rilis pekerjaan AS
Baca juga: Harga minyak naik usai OPEC+ umumkan pemangkasan besar produksi