Harga minyak di perdagangan Asia jatuh, dipicu dolar kuat jelang rilis pekerjaan AS

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara,minyak

Harga minyak di perdagangan Asia jatuh, dipicu dolar kuat jelang rilis pekerjaan AS

Ilustrasi: Ladang minyak Equinor di Johan Sverdrup, Laut Utara Norwegia. (ANTARA/REUTERS/Nerijus Adomaitis/pri.)

Singapura (ANTARA) - Harga minyak mentah sedikit lebih rendah di perdagangan Asia pada Jumat sore, karena penguatan dolar membebani harga menjelang data pekerjaan utama AS, meskipun kontrak acuan menuju kenaikan mingguan di tengah langkah OPEC+ untuk memangkas produksi.

Harga minyak mentah berjangka Brent merosot 25 sen atau 0,26 persen, menjadi diperdagangkan di 94,17dolar AS per barel pada pukul 06.49 GMT. Harga minyak mentah berjangka WTI turun 25 sen menjadi diperdagangkan di 88,20 dolar AS per barel, setelah sebelumnya mencapai 89,37 dolar AS, tertinggi sejak 14 September.

Greenback yang lebih kuat menambah tekanan pada harga minyak di tengah paduan suara dari pembicara Federal Reserve (Fed) yang hawkish menandakan pengetatan kebijakan agresif lebih lanjut.

Gubernur The Fed Lisa Cook, Presiden The Fed Chicago Charles Evans, dan Presiden The Fed Minneapolis Neel Kashkari semuanya menekankan perang melawan inflasi sedang berlangsung dan mereka tidak siap untuk mengubah arah.

Pasar akan mengamati laporan Penggajian Non-Pertanian (NFP) AS yang akan dirilis pada Jumat waktu setempat, dengan para ekonom memperkirakan 250.000 pekerjaan ditambahkan bulan lalu, dibandingkan dengan 315.000 pada Agustus.

"Minyak bocor lebih rendah di Asia, yang tidak begitu luar biasa setelah kenaikan besar menjelang akhir pekan, terutama terhadap kenaikan imbal hasil AS dan dolar yang lebih kuat memberikan tekanan turun dan memicu beberapa ambil untung pra-akhir pekan dan pra-data penggajian non-pertanian," kata Managing Partner SPI Asset Management, Stephen Innes, dalam sebuah catatan.

Namun kedua harga acuan menuju kenaikan mingguan, didorong oleh pengumuman pengurangan produksi kelompok produsen OPEC+.

Pemotongan dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu termasuk Rusia atau OPEC+, adalah yang terbesar sejak 2020 dan datang menjelang embargo Uni Eropa terhadap minyak Rusia. Keputusan itu akan menekan pasokan di pasar yang sudah ketat, menambah inflasi.

"Sentimen pasar sudah bearish untuk mengantisipasi melemahnya ekonomi global, dan keputusan ini akan semakin memperketat pasar," kata analis di ANZ Research dalam sebuah catatan.

Pengetatan kebijakan moneter dan pembatasan pergerakan terkait COVID yang sedang berlangsung di China berarti pertumbuhan permintaan global diperkirakan akan berada di bawah tekanan, tambah ANZ.

Presiden AS Joe Biden menyatakan kekecewaannya pada Kamis (6/10/2022) atas rencana OPEC+ serta dia dan para pejabat mengatakan Amerika Serikat sedang mencari semua alternatif yang mungkin untuk menjaga harga agar tidak naik.

Beberapa dari opsi tersebut termasuk melepaskan lebih banyak minyak dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) atau menjajaki pembatasan ekspor energi oleh perusahaan-perusahaan AS.

"Lebih banyak rilis SPR sebagian besar diimbangi oleh produksi yang lebih rendah dari Uni Emirat Arab dan Kuwait, masih menjaga pasar dalam defisit pada kuartal keempat," kata analis JP Morgan dalam sebuah catatan. Ia menambahkan harga Brent dapat menguji ulang 100 dolar AS per barel pada kuartal ini.

Baca juga: Harga minyak naik tipis di Asia jelang pertemuan OPEC+

Baca juga: Harga minyak mentah Asia naik tipis, namun di jalur penurunan mingguan