Chevron: Penanganan Kasus "Bioremediasi" Tak Berkeadilan

id chevron penanganan, kasus bioremediasi, tak berkeadilan

Chevron: Penanganan Kasus "Bioremediasi" Tak Berkeadilan

Pekanbaru, 18/10 (antarariau.com) - President Director PT Chevron Pacific Indonesia A Hamid Batubara menyatakan penanganan kasus dugaan korupsi proyek "bioremediasi" tidak atau belum berlandaskan keadilan.

"Terlebih dalam putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat untuk terdakwa Bachtiar Abdul Fatah selaku karyawan Chevron kemarin," kata Hamid dalam surat elektroniknya yang disampaikan staf humas Chevron Riau kepada Antara di Pekanbaru, Jumat.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (17/10) menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap terdakwa kasus korupsi proyek bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah.

Selain hukuman dua tahun penjara, General Manager Sumatera Light South Operation Chevron ini juga didenda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Hamid mengaku sangat menghormati lembaga peradilan Indonesia dan telah sepenuhnya mengikuti proses hukum terkait dugaan korupsi proyek pemulihan lahan atau tanah tercemar limbah minyak (bioremediasi) di Riau.

"Meskipun kami menyambut baik putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Bachtiar tidak terbukti melakukan tindakan kriminal, namun kami sangat kecewa atas putusan pengadilan yang terbagi ini yang menyatakan bahwa Bachtiar terbukti bersalah dalam dakwaan sekunder atas penyalahgunaan wewenang dan tetap ditahan," katanya.

Hamid mengaku sangat yakin putusan tersebut tidak memberi keadilan karena sebelum vonis, bukti-bukti faktual yang melimpah, keterangan pihak pemerintah yang berwenang dan pendapat para ahli yang hadir di persidangan menunjukkan dengan jelas bahwa Bachtiar tidak melakukan pelanggaran hukum dan proyek tersebut telah berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Keprihatinan dan dukungan menurut dia diberikan perusahaan untuk Bachtiar dan keluarganya dalam masa yang sangat sulit.

"Kami akan terus mendukung upaya hukum Bachtiar untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah," katanya.

Menurut Hamid, hal itu sangat penting, dan untuk dicatat bahwa pada 27 November 2012, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengeluarkan putusan praperadilan yang memerintahkan pembebasan dari tahanan dan dari status tersangkanya karena tidak ada bukti yang mendukung tuduhan jaksa.

Menurut hukum Indonesia, kata dia, kasus tersebut tidak dapat dibuka kembali tanpa putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pengadilan tersebut.

"Kami memandang peradilan dan penahanan Bachtiar yang berlangsung sejak 17 Mei 2013 merupakan pelanggaran hukum," katanya.

Hamid mengatakan, pihaknya percaya bahwa Bachtiar tidak bersalah atas semua dakwaan kepadanya.

Putusan pengadilan itu menurut dia tampaknya telah mengabaikan bukti-bukti faktual, hasil pengujian yang telah tersertifikasi, dokumentasi prosedur, Peraturan Menteri dan berbagai kesaksian dari pejabat pemerintah yang berwenang dan para ahli pihak ketiga yang kredibel.

Dalam menuntut Bachtiar, kata dia, putusan pengadilan tampaknya merujuk hampir seluruhnya pada keterangan salah satu saksi ahli yang telah jelas memiliki konflik kepentingan, dan bukti yang dimilikinya pun telah diabaikan oleh hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) dalam putusan pengadilan.