Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia mendorong negara-negara berkembang yang tergabung dalam keanggotaan Group of Twenty atau G20 untuk meningkatkan mekanisme mitigasi dan pasokan energi agar tahan terhadap gejolak energi yang sekarang terjadi akibat konflik geopolitik.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Jumat, mengatakan transisi energi bisa menjadi salah satu terobosan penting dalam menopang pondasi ketahanan energi.
"Rantai pasokan energi yang aman dan tangguh bagi semua sumber energi yang tersedia sangat penting dalam menjaga ketahanan energi di masa depan serta mencapai target net zero emission," ujarnya.
Tutuka menjelaskan korelasi ketahanan energi dengan transisi energi perlu dibantu dengan keterlibatan semua pihak melalui kerja sama global hingga pada level penerapan teknologi bersih yang inovatif, seperti pemanfaatan teknologi penangkapan karbon CCS/CCUS pada industri hulu minyak dan gas bumi.
Saat ini, Indonesia telah menetapkan peta jalan netralitas karbon pada 2060 melalui Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) sebagai strategi jangka panjang untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan energi di tengah komitmen menjalankan transisi energi.
"Kami berupaya menyeimbangkan transisi energi bersih dengan ketahanan energi nasional. Untuk memastikan itu, maka diperlukan kebijakan dan investasi pendukung yang tepat," jelas Tutuka.
Ketua Sidang ETWG G20 Indonesia Yudo Dwinanda Priadi menekankan pentingnya ketahanan energi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Menurutnya, ketahanan energi menjadi kunci untuk mewujudkan transisi energi yang adil dan merata dengan tujuan untuk mencapai peningkatan aspek sosial-ekonomi dan pembangunan, sekaligus mengentaskan kemiskinan dan melindungi mereka yang terkena dampak transisi.
"Sebagai negara kepulauan dan emerging economy, ketahanan energi bagi Indonesia erat kaitannya dengan kebutuhan dasar kita, strategi dan perencanaan jangka panjang, serta upaya besar-besaran untuk menyediakan akses energi yang berkelanjutan bagi semua, termasuk di daerah terpencil dan masyarakat yang terpinggirkan," terang Yudo.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa kondisi pasar energi global saat ini merupakan tantangan bersama bagi masyarakat internasional, terutama negara-negara G20.
Para anggota forum bertanggung jawab menstabilkan kembali pasar dan harga energi, meningkatkan infrastruktur modern, efisiensi dan berkelanjutan. Kendati begitu, G20 mesti tetap membutuhkan sinergi dari organisasi internasional, seperti Badan Energi Internasional (IEA), Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), lembaga keuangan global, dan lainnya.
"Jika gejolak ini tidak dapat dimitigasi dan dimediasi dengan baik, kami tidak akan melangkah maju untuk mengaktualisasikan kerjasama energi dengan visi yang lebih besar dari ketahanan energi yang dibahas dalam Naples Principles," pungkas Yudo..
Forum Transisi Energi G20 terdiri dari rangkaian pertemuan mulai dari sidang ETWG pertama di Yogyakarta telah dilaksanakan pada akhir Maret 2022 lalu.
Pembahasan sidang ETWG pertama meliputi tiga isu prioritas transisi energi, yakni akses, teknologi, dan pendanaan. Topik keamanan energi global, mengamankan aksesibilitas energi, dan peningkatan teknologi energi yang cerdas serta bersih akan dibahas dalam sidang tersebut.
Selanjutnya, sidang ETWG kedua akan berlangsung di Labuan Bajo, sidang ETWG ketiga di Bali, serta Energy Transition Ministerial Meeting (ETMM). Puncak presidensi G20 Indonesia adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada September 2022.
Pemerintah Indonesia mengharapkan forum transisi energi G20 bisa memberikan hasil persidangan yang lebih konkret guna memperkuat sistem energi global yang berkelanjutan, serta transisi yang berkeadilan dalam konteks pemulihan.
Baca juga: PLN operasikan PLTS Selayar, mampu kurangi emisi karbon 1.400 ton CO2/tahun
Baca juga: 680 ton sampah Pekanbaru per hari bakal diolah jadi BBJP