Tanjungpinang (ANTARA) - Memiliki luas wilayah lautan 96 persen dibanding daratan sebesar 4 persen, telah menjadikan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) kaya akan potensi kemaritiman, salah satunya hutan mangrove.
Hutan mangrove atau disebut hutan bakau tumbuh paling banyak dijumpai pada batasan antara muara pantai dengan sungai.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Kepri, total luas hutan bakau di daerah perbatasan itu saat ini mencapai 67,417 hektare.
Belakangan, sejumlah kawasan hutan bakau mulai dikemas dalam bentuk ecotourism atau ekowisata, sehingga memiliki nilai ekonomis. Ekowisata adalah konsep pariwisata yang membangun budaya dalam menghormati dan melestarikan lingkungan sekitar sembari memberikan pengalaman yang menyenangkan terutama bagi pengunjung/wisatawan.
Baca juga: Gubernur : Tiga pulau di Riau alami abrasi tinggi, butuh percepatan mangrove direhabilitasi
Di Kabupaten Karimun, tepatnya di Desa Batu Limau, Kecamatan Ungar, pemerintah desa setempat menyulap destinasi baru wisata hutan bakau.
Hutan bakau di Batu Limau menawarkan panorama alam yang masih segar dan alami. Pengunjung dapat melihat suasana asrinya hutan bakau dengan meniti pelantar atau jembatan kayu sepanjang 192,5 X 2 meter yang berdiri mengitari hutan bakau.
Jembatan itu dibangun menggunakan Dana Desa (DD) tahun 2018 senilai Rp160 juta. Para wisatawan juga dapat memanfaatkan keberadaan jembatan wisata itu untuk berswafoto dengan keluarga atau pasangan.
Di sekitar lokasi tersebut, wisatawan juga dapat melihat bebatuan unik dan bersejarah. Bebatuan itu ada yang menyerupai manusia dan benda-benda lain.
Bebatuan unik itu dinamai oleh warga sesuai bentuknya, semisal batu kapal, batu bilik, batu lesung, batu keris, batu kemaluan, serta beberapa batu lain.
Sebagai informasi, menuju tempat ini tidaklah rumit. Dari Tanjung Batu, pengunjung dapat menaiki pompong menuju Pulau Alai.
Baca juga: BRGM apresiasi masyarakat rehabilitasi mangrove melalui kegiatan Mangrove Week
Tarifnya beragam, mulai Rp3.000 hingga Rp5.000 tergantung usia. Waktu tempuh hanya sekitar 5 menit.
Dari Pelabuhan Pulau Alai menuju wisata hutan bakau Batu Limau, pengunjung kemudian menumpang ojek yang tarifnya sebesar Rp15.000.
Sekedar saran, jika Anda memang berniat ke kawasan wisata Batu Limau, sebaiknya membawa bekal berupa jajanan atau minuman, mengingat tidak ada kedai atau warung di kawasan ini. Kedai atau warung hanya tersedia saat hari-hari besar tertentu semisal hari raya Idul Fitri.
Sejumlah wisatawan luar daerah yang baru pertama berkunjung ke kawasan ini mengaku jika kawasan wisata di Batu Limau sangat bagus dan sangat cocok dijadikan sebagai wahana liburan keluarga.
Namun mereka menyarankan agar pengelola kawasan mengadakan hiburan guna menarik wisatawan ke daerah tersebut. Hiburan bisa jadi berupa pertunjukan musik atau sebagainya. Apalagi pada hari besar atau hari libur.
Baca juga: Luas penanaman mangrove di Riau capai 6.320 hektare, ini keuntungannya
Beralih ke Kabupaten Natuna, sebuah pulau terluar di ujung Utara Indonesia itu juga tengah gencar mendorong ekowisata hutan bakau. Baru-baru ini melalui bantuan dana alokasi khusus (DAK) senilai Rp2,2 miliar, pemerintah setempat telah membuat wisata hutan bakau. Persisnya di Pering, Kelurahan Bandarsyah, Kecamatan Bunguran Timur.
Objek wisata hutan bakau makin melengkapi sektor pariwisata Natuna, yang selama ini dikenal memiliki wisata andalan pantai dengan air laut yang jernih dan indah.
Lokasinya yang berada tepat di depan gunung ranai, menjadikan kawasan itu menarik untuk diabadikan dengan kamera poket atau ponsel. Pengunjung dapat berjalan menikmati keindahan hutan bakau Pering dengan berjalan di atas pelantar kayu sepanjang 1 kilometer. Objek wisata ini dibuka setiap hari mulai pukul 10.00 WIB hingga 16.00 WIB.
Keberadaan objek wisata hutan bakau yang diklaim terluas di Provinsi Kepri itu pun diharapkan diyakini menjadi ikon wisata Natuna, sekaligus menambah daya tarik kunjungan wisatawan, sehingga akan berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) setempat.
Kawasan wisata yang kemudian dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) itu pun akan lengkapi sarana infrastruktur pendukung, seperti gerbang masuk, gazebo, tempat jualan, hingga area parkir.
Pengelolaan kawasan wisata yang dikelola dengan baik tentu akan berdampak kepada peningkatan ekonomi desa setempat. Ramainya wisatawan yang berkunjung dapat dimanfaatkan kelompok masyarakat dengan berjualan, mengelola uang parkir, termasuk pula pengelolaan tiket masuk.
Banyak manfaat
Selain ekowisata, hutan bakau memiliki banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat. Hutan bakau jadi salah satu lumbung oksigen yang baik dari hutan tropis. Daerah dengan kawasan hutan bakau, sudah pasti memiliki kadar oksigen yang baik.
Oleh karena itu, kawasan hutan bakau perlu dijaga betul keberadaannya melalui pengaturan tata ruang yang jelas dan dibarengi dengan kebijakan perlindungan hutan bakau oleh pemerintah terkait.
Berdasarkan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Indonesia, ternyata terdapat 37.432 hektare mangrove kritis di Kepri. Seluas 24.937 hektare di antaranya adalah kawasan hutan dan 12.495 hektare lainnya nonkawasan hutan.
Sejak tahun 2021, BRGM telah menargetkan rehabilitasi 5.500 hektare mangrove yang tersebar di wilayah Lingga, Natuna, Batam, Karimun dan Bintan.
Beberapa strategi demi mempercepat rehabilitasi mangrove, di antaranya dengan pembentukan desa peduli mangrove sebagai ujung tombak kegiatan yang berkelanjutan.
Baca juga: Cakupan rehabilitasi mangrove 2021 telah melampaui target
Kemudian, melakukan koordinasi dan sinergi dengan sejumlah pihak, melakukan edukasi dan sosialisasi Gerakan Cinta Mangrove serta melakukan rehabilitasi secara terukur dan berkelanjutan.
Rehabilitasi mangrove juga dapat meningkatkan ekonomi warga. Dengan memperbaiki kondisi mangrove sekaligus dapat memperbaiki perilaku sosial, praktik ekonomi dan masyarakat sekitar ekosistem.
Kondisi ekosistem mangrove yang baik juga dapat meminimalkan potensi bencana. Seperti yang terjadi di Kepri pada awal 2021, saat terjadi banjir di Batam, Bintan dan Tanjungpinang.
Masyarakat tentu sangat membutuhkan pendampingan dan edukasi dalam menjaga, merawat hingga melestarikan hutan bakau, karena dari pohon demi pohon yang tumbuh di antara muara pantai dan sungai itu, ada asa sumber kehidupan dan perekonomian masyarakat.
Baca juga: Forum DAS Sumsel ingatkan untuk jaga kawasan magrove di OKI dan Banyuasin