Menanti Keajaiban Pemerintah Atasi Kelangkaan Elpiji

id menanti keajaiban, pemerintah atasi, kelangkaan elpiji

Menanti Keajaiban Pemerintah Atasi Kelangkaan Elpiji

Sementara matahari mulai tinggi, belum ada satupun makanan tersaji di meja, padahal suami dan anak-anak mereka segera pulang dari bekerja dan sekolah.

Pekanbaru (Antarariau.com) - Lelah sudah Nanik (35) warga Jalan Fazar, Labuh Baru Barat, Payung Sekaki, Kota Pekanbaru, Riau, berkeliling mencari gas bersubsidi isi ulang tabung tiga kilogram.

Sementara matahari mulai tinggi, belum ada satupun makanan tersaji di meja, padahal suami dan anak-anak mereka segera pulang dari bekerja dan sekolah.

Ia terpaksa menyerah dan mencoba menyalakan kayu bakar di tungku sisa pembakaran sampah. Hanya itu langkah cepat untuk menyelamatkan tanggungjawab seorang ibu rumah tangga menyajikan makanan untuk keluarga.

Nanik sudah sebulan ini terpaksa menggunakan kayu bakar untuk memasak semua kebutuhan makan/minum bagi keluarganya karena sulit mendapatkan gas elpiji tabung tiga kilogram yang sudah hampir 10 tahun menemaninya.

"Gas susah didapat, kalau ada harganya mahal Rp35.000 - 40.000/tabung," keluh ibu beranak tiga ini.

Ia dan suami harus ekstra mencari kayu bakar untuk menghidupkan tungku di rumahnya ke semak belukar sekitar rumah atau potongan sisa bahan bangunan dari tukang yang sedang membangun di luar sana.

"Saya harus memasak untuk makan keluarga sehari-hari, daripada tidak ada terpaksa pakai kayu," ucapnya pasrah.

Diakuinya kondisi ini merepotkan dirinya karena harus kembali ke pola zaman dulu yang mengandalkan kayu sebagai bahan bakar, selain menghabiskan waktu lebih lama memasak dengan tungku juga membuat peralatan rumah tangga rela menjadi hitam legam kemudian asap yang ditimbulkan akan masuk ke rumah dan mengganggu kesehatan, seperti membuat batuk. Belum lagi kalau musim hujan tidak ada kayu bakar yang kering akan menyulitkan untuk memasak.

Sejak konversi minyak tanah ke elpiji tiga kilogram diberlakukan tahun 2007 hingga kini gonjang-ganjing kelangkaan gas bersubdisi yang katanya disediakan bagi masyarakat miskin sebenarnya terjadi namun semakin ke sini bertambah memuncak.

Bisa dibayangkan Harga Eceran Tertinggi (HET) elpiji tiga kilogram tadinya hanya Rp18.000/tabung kini bisa mencapai Rp50.000/ tabung, hampir setara dengan non subsidi di Pekanbaru.

Parahnya lagi kalau mahal barangnya tersedia mungkin masyarakat sedikit terbantu tetap bisa memasak. Ini tidak, sudah mahal barangnya tidak tersedia alias hilang dari peredaran.

Kebijakan Konversi Minyak Tanah

Pada awal tahun 2007 pemerintah meluncurkan kebijakan konversi minyak tanah ke LPG (Liquid Petroleum Gas) yang selanjutnya disebut elpiji. Meskipun banyak pro dan kontra karena terkesan terburu-buru, kebijakan tersebut tetap dijalankan.

Dari berbagai perspektif, kebijakan pemerintah ini sangat logis, mengingat harga minyak mentah internasional cenderung melonjak sangat tajam. Apabila harga minyak tanah dalam negeri dipertahankan, pemerintah harus mengeluarkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sangat besar untuk mensubsidi.

Kala itu alasan dilakukannya program konversi minyak tanah ke elpiji di antaranya berdasarkan kesetaraan nilai kalori, subsidi elpiji lebih rendah dari pada subsidi minyak tanah. Penghematan subsidi dapat mencapai Rp15-20 triliun jika program ini berhasil. Elpiji lebih sulit dioplos dan disalahgunakan. Walau belakangan diduga justru pola inilah yang menjadi peluang pangkalan nakal untuk menyelinapkan gas milik warga miskin ke pelaku usaha makro, restoran dan sebagainya.

Penggunaan elpiji sebagai bahan bakar dianggap relatif lebih bersih karena polusinya lebih ringan jika dibandingkan bahan bakar minyak tanah.

Percepatan konversi dilakukan dengan dua cara membagikan tabung gas gratis dan menambah pemasok gasnya dan pada saat yang sama menarik minyak tanah bersubsidi.

Berdasarkan data dari Pertamina pada bulan September 2010, setelah program berjalan selama 3 tahun, hingga akhir Agustus 2010 telah didistribusikan 45,5 juta paket elpiji kepada masyarakat dari total 52 juta paket yang akan dibagikan.

Program ini juga telah mengurangi konsumsi minyak tanah (kerosene) dari 9,9 kiloliter pada tahun 2007 menjadi 5,8 kiloliter pada tahun 2010 serta memberikan kontribusi penghematan subsidi hingga Rp21,78 triliun.

Dalam proses pembagian timbul masalah yang dihadapi dalam tahap implementasi ialah bahwa tidak mudah bagi masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan bahan bakar minyak tanah untuk beralih ke elpiji. Meskipun tabungnya diberikan gratis dan berukuran kecil, tetap saja tidak mungkin membeli eceran sebagaimana minyak tanah. Elpiji harus dibeli satu tabung minimal 3 kg dengan harga sekitar Rp 14.000.

Selain itu perilaku dan budaya masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa menggunakan kompor minyak tanah ternyata masih sulit diubah. Pemerintah tidak mengantisipasi keterkejutan masyarakat karena minyak tanah yang telah membudaya sejak lama sebagai bahan bakar andalan tiba-tiba harus diganti dengan gas. Di tengah ketidakpastian, bahkan ada sebagian warga yang menjual kompor gasnya ke pihak lain.

Elpiji Mulai Familiar Terjadi Kelangkaan

Kini pada saat masyarakat mulai merasakan nikmatnya menggunakan gas tabung tiga kilogram, mereka harus lagi tergaduhkan oleh kelangkaan. Dari laporan pemberitaan hampir seluruh kabupaten/kota di Riau mengalami masalah ini. Mulai dari Dumai, Pekanbaru, Siak, Bengkalis dan sebagainya.

Bukan cuma langka harga barang bersubsidi ini juga didapati dengan mahal oleh masyarakat miskin. Sungguh mengherankan barang bersubsidi dengan HET Rp18.000/ per tabung di Pekanbaru bisa dipasarkan di tingkat akhir (konsumen) hingga Rp40.000/tabung hampir menyamai harga non subsidi.

Seperti yang dirasakan Luciana di Jalan Fazar Labuh Baru ia sudah sepekan ini harus mondar-mandir mencari gas hingga didapat di salah satu warung yang lumayan jauh dari rumahnya.

"Sepertinya orang warung mulai takut menjual gas kalau-kalau kena sidak, saya terpaksa membeli Rp40.000/ tabung, " ujarnya menyembunyikan tempat pembeliannya.

Lain lagi yang dialami oleh warga Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau harga elpiji kini mencapai Rp35 .000/tabung.

"Kami mencari sudah keliling juga ke Pambang semuanya kosong. Dapatnya di daerah Ketam Putih, itu pun Rp35.000 per tabung, mahal sekali," kata warga Tasik, Mar di Bengkalis.

Sementara itu Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri, Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Bengkalis Burhanuddin menyebutkan tidak ada pengurangan kuota dari PT Pertamina selaku produsen elpiji dan pasokan seperti biasanya tanpa kendala.

"Jika pun ada kendala itu terkadang di penyeberangan, namun kuota tetap seperti biasanya," kata Burhanuddin.

Dia mengatakan kelangkaan atau susahnya gas tersebut disebabkan pangkalan dilarang menjual gas ke pengecer.

"Sehingga mereka kesulitan mendapatkan gas, dan kita imbau masyarakat untuk langsung membeli gas di pangkalan dengan membawa fotokopi kartu keluarga," katanya.

Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman sebelumnya sudah mengingatkan pihak Pertamina untuk mengatasi kelangkaan gas elpiji di masyarakat.

Andi juga mempertanyakan apa yang menjadi penyebab kelangkaan ini di Riau sejak Awal November 2017.

"Saya berharap Pertamina tetap memenuhi kebutuhan di Riau. Jangan sampai ada kelangkaan seperti ini, " sebut Andi.

Kondisi ini harus segera mendapat respon dan solusi dari pemerintah bagaimana agar masyarakat tidak lagi merasa kembali hidup di zaman batu akibat sulitnya mendapatkan bahan bakar, apalagi khususnya bagi mereka yang miskin keterbatasan dana, akses dan pengetahuan membuat keterpurukan dan kemiskinan semakin mendalam.

Perlu kebijakan khusus yang berpihak kepada masyarakat miskin yang memang berhak atas susbsidi yang tiap tahun digelontorkan. Jangan uang yang triliunan dibayarkan justru dinikmati mereka yang kaya dan mampu. Distribusi tertutup lewat pengawasan yang ketat dan komitmen bersama dari stakeholder akan memampukan program ini tepat sasaran.