Kemandirian Ekonomi Lahir Dari Rumah Batik Andalan

id kemandirian ekonomi, lahir dari, rumah batik andalan

Kemandirian Ekonomi Lahir Dari Rumah Batik Andalan

"Ke depannya, semoga seluruh Riau pakai batik produksi kita," harap Ketua Rumah Batik Andalan, Siti Nurbaya.

Hari masih pagi saat sekelompok perempuan terlihat sibuk beraktivitas di Rumah Batik Andalan, yang berlokasi di area kompleks PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Kota Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau pada awal Agustus 2016. Semerbak wangi malam (lilin) menyelimuti ruangan yang penuh dengan kain batik berwarna-warni.

Siti Nurbaya mengarahkan pengrajin untuk menggambar motif batik dengan pensil di sehelai kain mori putih. Di tengah ruangan ada dua pengrajin yang sedang mewarnai kain, sedangkan disebelah mereka ada empat orang sedang melukis pola batik dengan alat terbuat dari kayu sebesar jari telunjuk yang disebut "canting".

Sementara itu, di satu sudut dekat jendela, seorang ibu sedang mencetak motif bunga dengan tangannya yang terampil. Cairan "malam" panas mengepul dari penggorengan didekatnya. "Sejak kami bisa memproduksi batik sendiri, kami tidak pernah berhenti kerja karena pesanan selalu ada," kata Siti Nurbaya.

Bagi perempuan berusia 48 tahun itu, mengembangkan kerajinan batik khas Pelalawan awalnya bagaikan mimpi, karena mereka hanya tahu batik itu cuma ada di Pulau Jawa. Ia menjelaskan, kerajinan batik di sana tidak lepas dari insiatif PT RAPP yang merangkul perempuan di Kota Pangkalan Kerinci untuk belajar seni batik sejak 2013. Perusahaan melalui program "community development" berkerja sama dengan pemerintah daerah dan Ibu Miranti, isteri Kepala Kepolisian Resor Kota Pekanbaru saat itu, yang mulai mengenalkan cara membatik.

Proses belajar itu tidak mudah, karena seluruh perempuan di Pangkalan Kerinci benar-benar "buta" dengan batik. "Setelah latihan dua minggu, kami lantas vakum karena masih bingung batik ini mau dijadikan apa," katanya.

Alhasil, dari peserta pelatihan yang awalnya 50 orang, jumlahnya makin menyusut tinggal setengahnya saja yang berlanjut. Siti mengatakan sangat mengapresiasi manajemen RAPP yang tidak patah semangat, justru makin sering "menyekolahkan" mereka ke Yogyakarta, Solo hingga ke Pekalongan untuk memperdalam ilmu membatik. Perusahaan juga menyediakan tempat berupa sebuah rumah panggung, yang kini menjadi Rumah Batik Andalan.

Bahkan, pihak perusahaan saat itu mulai memesan batik mereka untuk dijadikan suvenir berupa syal untuk tamu-tamu yang datang. "Itu pun kami masih tetap belum percaya diri karena motif batiknya masih amburadul, tapi saya hargai mereka (perusahaan) tetap mengambilnya juga," katanya.

Perlahan namun pasti, Siti mengatakan sejak 2014 kerajinan batik tersebut mulai menemukan identitasnya. Mereka makin percaya diri untuk menghasilkan karya yang memadukan teknik batik Yogya, Solo dan keberanian bermain warna terang khas batik Pekalongan. Ide kreatif para pengrajin makin lancar mengalir untuk mencari motif sendiri yang diilhami dari alam sekitar.

Maka lahirlah motif khas, batik gelombang "Bono" yang diambil dari nama fenomena alam ombak besar di muara Sungai Kampar. Gelombang "Bono" kini menjadi andalan wisata di Riau, yang sudah terkenal dikalangan penyinta olahraga selancar (surfing) nasional dan mancanegara.

"Kami sampai melihat Bono langsung untuk bikin motif ini," kata Siti menjelaskan saat proses kreatif itu terjadi.

RAPP

Hak Cipta Batik

Motif batik gelombang Bono menjadi titik balik bagi perkembangan Rumah Batik Andalan, karena banyak dipesan oleh instansi pemerintah dan manajemen RAPP yang memesan hingga 1.700 helai batik untuk seragam karyawan. Bahkan, batik gelombang Bono juga mendapat apresiasi dari Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, saat mengunjungi Pelalawan pada 2015.

"Menteri berpesan kalau ini batik khas Pelalawan, maka harus dibuatkan surat hak ciptanya," kata Siti menirukan pesan menteri.

Karena itu, terhitung sejak Maret 2015, hak cipta batik Bono Pelalawan telah terdaftar secara resmi sebagai kekayaan intelektual di Kementerian Hukum dan HAM. Artinya, motif batik Bono akan dilindungi dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang akan berlaku selama hidup penciptanya dan terus berlangsung hingga 70 tahun setelah penciptanya meninggal dunia.

"Meski begitu, silakan saja kalau ada orang yang menggunakan motif ini tapi harus tahu bahwa itu hak cipta kita," katanya.

Ia mengatakan, keinginan pengrajin untuk melindungi karya mereka tidak berhenti begitu saja. Ada tiga motif karya Rumah Batik Andalan yang kini menunggu mendapatkan hak cipta, yakni motif daun akasia, daun eukaliptus, dan daun lakum. "Daun akasia dan eukaliptus itu tanaman yang banyak ditanam oleh perusahaan, sedangkan daun lakum itu tanaman liar yang banyak hidup dipinggir Sungai Kampar," katanya.

Kegigihan para pengrajin untuk fokus pada batik khas Pelalawan juga berhasil meningkatkan taraf kehidupan mereka. Harga batik yang awalnya dibanderol Rp200 ribu per helai ukuran 2,25 meter, kini naik jadi Rp350 ribu. Satu orang pengrajin minimal bisa mendapatkan penghasilan Rp1 juta hingga maksimal Rp4 juta per bulan tergantung banyaknya pesanan. Tingginya pemesanan sampai membuat para pengrajin kewalahan.

"Lama pengerjaan satu helai batik tulis mencapai seminggu, sedangkan untuk batik semitulis bisa diselesaikan dalam sehari oleh seorang pengrajin saja. Tapi kami juga sudah kewalahan karena banyaknya pesanan," ujarnya.

Meski membatik terbukti bisa menghasilkan uang, namun masalah regenerasi terus membayangi Rumah Batik Andalan ke depannya. Ia mengatakan upaya mencari pengrajin baru dengan melatih 17 orang pada tahun ini, hanya tersisa tiga orang saja. "Sulit cari pengrajin karena anak muda lebih suka kerja dipabrik. Padahal, kalau dibandingkan gajinya lebih kurang sama," kata Siti sembari mengatakan kini hanya ada 10 perajin yang aktif di Rumah Batik Andalan.

Meski begitu, tantangan tersebut tidak menyurutkan para pengrajin untuk terus berinovasi. Rumah Batik Andalan kini sedang mematangkan diversifikasi produknya ke jenis kerajinan lainnya. Selain itu, mereka juga berharap untuk memperluas pemasaran, yang kini baru ada di gerai UMKM di Kota Pangkalan Kerinci, dengan membuka gerai di Kota Pekanbaru.

"Kita ingin membuat lebih banyak produk kebutuhan untuk ibu-ibu. Produk kita akan beragam seperti tas dan dompet yang memadukan anyaman dan batik," katanya.

Tanpa disadari, semangat dari Rumah Batik Andalan kini menjadi "virus" yang memotivasi pengrajinnya sendiri. Ayuningsih, pengrajin muda berumur 28 tahun, mengatakan dirinya bertekad untuk membuka usaha batiknya sendiri di masa depan.

"Manfaat dari batik ini banyak sekali, yang utama adalah saya bisa menghidupi diri sendiri dan membantu orang tua saya. Saya ingin bisa mengembangkan batik ini, dan mau buka butik batik sendiri," kata Ayuningsih.

Manager Community Development RAPP, Sundari Berlian, pengrajin di Rumah Batik Andalan merupakan satu dari 44 mitra binaan perusahaan yang tidak langsung berkaitan dengan aktivitas bisnis industri kehutanan. Selain pengrajin batik, RAPP juga membina usaha kecil lain seperti bengkel dan salon.

"Bantuan yang kami berikan berupa pelatihan, peralatan dan modal kerja. Dana bergulir juga diberikan sebesar Rp5 juta yang diangsur oleh mitra binaan Rp500 ribu per bulan, yang akan terus bergulir untuk membantu usaha lainnya," kata Sundari.

Pada akhirnya, fungsi batik tidak sekedar untuk mempercantik diri dan menunjukan identitas, melainkan juga memperkuat kemandirian ekonomi masyarakat dari skala yang paling kecil.

Pewarta :
Editor: Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2016