Pakar: 300 Karyawan Sub-Kontraktor Chevron Terkena PHK Berhak Peroleh Pesangon

id pakar 300, karyawan sub-kontraktor, chevron terkena, phk berhak, peroleh pesangon

Pakar: 300 Karyawan Sub-Kontraktor Chevron Terkena PHK Berhak Peroleh Pesangon

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pakar hukum perburuhan dari Universitas Andalas Doktor Khairani berpendapat, sekitar 300 karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja oleh PT Trianda Alvindo--subkontraktor Chevron Pacific Indonesia, Riau--berhak memperoleh keadilan antara lain berupa pesangon.

"Keadilan ini sudah diamanatkan dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga perusahaan wajib melunasinya," kata Khairani yang dihubungi dari Pekanbaru, Senin, terkait belum tuntasnya pembayaran pesangon eks karyawan yang bekerja mulai dari 1 tahun hingga 30 tahun lebih.

Menurut Khairani, hak buruh yang di-PHK sesuai dengan kesepakatan tertulis. Tetapi, setidaknya hak pekerja yang di-PHK menurut UU ketenagakerjaan adalah uang pesangon, uang masa kerja dan uang penggantian hak.

Ia menjelaskan, pesangon yang harus dibayar pengusaha kepada pekerja yang besarnya tergantung masa kerja jika pekerja mulai bekerja nol-1 tahun maka akan memperoleh sebulan upah, jika 1-2 tahun amak eks pekerja akan memperoleh dua bulan upah dan seterusnya.

"Untuk uang penghargaan diberikan pada pekerja minimal tiga sampai enam tahun adalah 1 bulan upah, 6-9 tahun, diperoleh dua bulan upah dan seterusnya," katanya.

Sedangkan uang pengganti hak adalah hak yang seharusnya diperoleh selama kerja, tidak pernah diambil misalnya cuti tahunan tidak pernah, maka upah selama cuti itu dibayarkan.

Mengenai kasus Chevron, jika PHK dikarenakan kehendak perusahaan, bukan lantaran pailit, maka pekerja berhak atas hak sebagaimana disebutkan di atas.

Akan tetapi jika karena karena alasan ekonomi/efisiensi maka PHK tidak harus ada penetapan PHI dan pekerja berhak atas uang pesangon, masa kerja dan penggantian hak sebesar 2 kali ketentuan.

Penetapan PHI diperoleh jika sudah dilakukan perundingan bipartit, jika tetap dilakukan PHK tanpa penetapan PHI akan menimbulkan perselisihan. Buruh di PHK dapat mengajukan penyelesaiaan ke PHI dengan terlebih dahulu melalui perundingan bipatrit.

"Jika sudah dilakukan perundingan dan tidak juga dipenuhi haknya maka bisa diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk mendapatkan keadilan," katanya.

Sebelumnya 300-an karyawan PT Trianda Alvindo yang mengalami pemutusan hubungan kerja sepihak, berkali-kali menuntut perusahaan subkontraktor itu segera membayarkan gaji, uang berobat dan lainnya yang menjadi hak karyawan.

"Rata-rata hak-hak karyawan yang belum dibayarkan sejak 2014 mencapai puluhan juta rupiah per orang, dampaknya karyawan dirugikan bahkan mereka kini kesulitan keuangan dalam memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari," kata Priyatno (42), mantan karyawan PT Trianda Alvindo itu.

Menurut Priyatno, untuk menyiasati kebutuhan keluarga, dirinya terpaksa membuka warung kebutuhan harian dengan modal dari Jamsostek. Warung yang dibuka, katanya, hanya mampu memenuhi kebutuhan seadanya dan belum termasuk untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti membayar kontrakan dan keperluan lainnya bagi keluarga.

Senada dengan Priyatno, Edi, Eri dan Hengky mengatakan dampak dari PHK sepihak mantan karyawan perusahaan ini terpaksa menjadi kuli bangunan, ngojek, membuat jasa usaha teralis, bahkan ada yang menjadi pengangguran.

"Padahal sehubungan efisiensi perusahan mulai 30 Juni 2015, kami pun menyatakan bersedia menyetujui menerima uang pisah Rp18,37 juta lebih, uang pengembalian potongan BPJS Ketenagakerjaan Rp1,7 juta lebih, uang rapel Rp120.000, tebusan kwitansi berobat Rp282.662, kekurangan gaji Oktober 2014-Desember 2014 Rp776 500. Jumlah seluruhnya mencapai Rp21,7 juta lebih," kata Hengky.

Bahkan, katanya, karyawan dijanjikan bahwa pembayaran pertama dilaksanakan pada Oktober 2015 sebesar 20 persen dari jumlah yang diterima. Pembayaran berikutnya akan dimulai November 2015 secara bergiliran setiap bulan minimal untuk 10 orang akan dibayarkan sekaligus sesuai surat yang dibuat manajemen perusahaan berada di Jalan Lintas Duri Dumai kilometer 8, Provinsi Riau itu pada 30 Juni 2015.

"Janji ini belum juga ditepati dan kami berharap perusahaan memiliki niat baik dalam menyelesaikan masalah secepatnya, karena sebagai warga negara Indonesia kami juga berhak mendapatkan keadilan," kata mereka.