Oleh Nella Marni
Pekanbaru, (Antarariau.com) - Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Riau mengarahkan agar ekspansi terapi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang bermutu di pelayanan kesehaan menjadi suatu keharusan untuk strategi pengobatan pasien tuberkulosis (TB).
"Pada Provinsi Riau penanggulan TB sudah menerapkan strategi DOTS dan sudah dilaksanakan di semua pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas," ujar Pengelola Program Tuberkulosis pada Dinkes Provinsi Riau, Dwi Srirahayu, Pekanbaru, Sabtu.
Lebih lanjut, kunci strategi DOTS adalah pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, pengobatan jangka pendek yang standar dengan tatalaksanan kasus yang tepat termasuk pengawasan langsung minum obat kepada pasien.
"Strategi pengobatan pasien TB dengan menggunakan obat jangka pendek dan diawasi langsung oleh pengawas minum obat atau dokter. Cara ini efektif dijalankan dalam pengobatan TB selama enam-delapan bulan tanpa putus. Dengan kata lain pasien dapat rawat jalan dengan metode ini namun harus patuh," ucapnya.
Selain itu, jaminan ketersediaan obat anti TB yan bermutu dan sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan juga mempengaruhi penaggulangan penyakit tersebut.
Jika DOTS ditulis dengan huruf kecil menjadi "dots" dan dibaca dengan cara terbalik 180 derajat akan menjadi "stop" yang artinya berhenti. Penaganan pada kasus TB sendiri memanglah harus diberhentikan penyebarannya dan obati sampai sembuh.
Di Provinsi Riau tahun 2015 kasus BTA (+) yang ditemukan atau Case Detection Rate (CDR) sebesar 43 persen atau 4.222 kasus, dan mengalami peningkatan satu persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2014 yang hanya 42 persen (4186 kasus).
"Hal ini berdampak belum maksimalnya penemuan dan tatalaksana TB serta adanya kecendrungan resisten obat. Dalam kasus tersebut mengarahkan bahwa ekspansi DOTS menjadi keharusan.
Menurutnya, pemicu terjadinya resisten obat disebabkan karena pengobatan yang tidak standar pada pasien terduga TB MDR akan semakin memperparah situasi. Dari sisi petugas kesehatan kelalaiannya mendiagnosis tidak tepat serta terapi tidak memakai panduan yang benar, pemberian dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu tidak pas. Sedangkan dari segi pasien kesalahannya adalah tidak patuh terhadap anjuran dokter, tidak teratur menelan obat, STOP obat secara sepihak da gangguan penyerapan obat.
"TB MDR itu sendiri merupakan pasien yang kebal terhadap obat TB biasa. Artinya penanganan terhadap sipenderita ini harus maksimal karena jika tidak bisa menyebabkan kematian. Pada tahun 2015 di Riau ada sebanyak 184 pasien yang menghilang tanpa diketahui berhentikan pengobatan, mereka itu punya resiko menjadi tipe TB MDR," tuturnya.