Sambungan dari hal 1 ...
BI Terapkan Rupiahisasi
Sebagai upaya untuk meminimalisasi ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS, Pemerintah melalui undang-undang nomor 7 tahun 2011 dan diperkuat oleh Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 17 tahun 2015 mengatur bahwa seluruh transaksi di Indonesia harus menggunakan rupiah.
Iskandar mengatakan peraturan tersebut tidak berlaku untuk perusahaan Indonesia yang bertransaksi secara internasional. Untuk perusahaan yang melakukan kegiatan ekspor dan impor bisa tetap menggunakan valuta asing sebagai alat untuk bertransaksi.
Peraturan rupiahisasi tersebut berlaku mulai 1 Juli 2015. Hingga saat ini, banyak perusahaan yang masih dalam proses menerapkan peraturan baru tersebut. Pihaknya menganggap wajar adanya pro dan kontra dari para pengusaha mengingat saat ini merupakan masa transisi sehingga banyak perusahaan yang belum terbiasa melakukannya.
Meski terkesan mendadak, Pemerintah melalui BI lebih dulu melakukan kajian selama 10 tahun sebelum akhirnya mengeluarkan kebijakan tersebut. Menurutnya, banyak dampak positif yang langsung terasa bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika peraturan tersebut diterapkan.
"Pemerintah mengeluarkan kebijakan ini karena banyak perusahaan atau pelaku ekonomi di Indonesia menggunakan transaksi valas dengan valas di dalam negeri, akibatnya permintaan valas khususnya dolar AS terus meningkat," katanya.
Artinya, penguatan dolar AS tersebut berdampak pada pelemahan mata uang rupiah. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di beberapa negara lain. Oleh karena itu, Pemerintah di negara-negara tersebut juga melakukan langkah yang sama seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
"Adanya tekanan mata uang asing terhadap mata uang lokal tersebut berdampak pada keluarnya kebijakan "local currency" yang dilakukan oleh sejumlah negara termasuk Indonesia," katanya.
Peluang Manfaatkan "Local Content"
Salah satu pengusaha mebel yang juga Wakil Ketua Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional Kamar dagang dan industri (Kadin) Jateng Bernadus Arwin mengatakan penguatan dolar AS terhadap mata uang rupiah dapat menjadi peluang bagi para pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya lokal atau "local content".
Para pengusaha yang potensial mengambil peluang tersebut yaitu pengusaha mebel. Apalagi, produk mebel Jawa Tengah sendiri memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi dibandingkan dengan komoditas lain.
Dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan berorientasi ekspor, maka dapat meningkatkan omzet para pengusaha. Meski demikian, pihaknya berharap agar mata uang lebih stabil.
"Bagi eksportir kondisi ini sangat positif selama mata uang tetap stabil, tetapi kalau kurs tidak standar antara kita menjual dan saat membayar, sama saja mengkhawatirkan bagi kami para eksportir," katanya.
Sementara itu, meski bahan baku kayu yang mudah dijumpai di dalam negeri, diakuinya hingga saat ini masih banyak pengusaha mebel yang masih bergantung pada bahan baku impor.
"Dampak positif penguatan dolar bagi eksportir yang dapat mengoptimalkan kayu lokal dengan eksportir yang masih bergantung pada barang impor sangat berbeda. Kalau fluktuasi rupiah terhadap dolar AS terus terjadi maka kondisi ini sangat merugikan eksportir yang masih bergantung pada barang impor," katanya.
Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah pada bulan Juli, ekspor kayu dan barang dari kayu masuk dalam tiga kelompok komoditas utama yang mempunyai nilai ekspor tertinggi.
Untuk kayu dan barang dari kayu memberikan kontribusi sebesar 18,36 persen pada keseluruhan ekspor Jateng dengan nilai ekspor sebesar 68,11 juta dolar AS.