Komnas Perempuan Menentang Eksekusi Mati

id komnas perempuan, menentang eksekusi mati

Komnas Perempuan Menentang Eksekusi Mati

Jakarta, (Antarariau.com) - Komisi Perempuan Nasional (Komnas) Perempuan menentang eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan Jaksa Agung atas enam orang terpidana hukuman mati kasus narkoba, terutama terhadap Rani Andriani alias Mellisa Aprillia, seorang perempuan asal Cianjur, Jawa Barat.

Dalam siaran pers yang diterima AntaraNews, di Jakarta, Jumat, Komnas Perempuan menyebutkan hukuman mati karena bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia atau "The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment".

Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998. Melalui UU itu Indonesia juga melakukan deklarasi terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3) serta melakukan reservasi terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (1).

Hukuman mati, menurut Komnas Perempuan, dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu: hak untuk hidup. Padahal, hukuman seharusnya manusiawi dan memberi efek jera yang edukatif.

"Indonesia sudah melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati dan banyak digunakan sebagai alat politik untuk menunjukkan ketegasan negara, yang justru melemahkan posisi moral politis Indonesia sebagai negara yang anti kemanusiaan, kejahatan diperlakukan dengan kejahatan dan kemanusiaan menjadi korban," kata Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah.

Komnas Perempuan sendiri telah memantau sejumlah tahanan migran di perbatasan Malaysia, mayoritas dari mereka adalah perempuan yang terancam hukuman mati karena terjebak dalam sindikasi narkoba dan terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia. (Wakil Ketua MPR menyetujui eksekusi mati)

"Banyak buruh migran yang terancam hukuman mati di luar negeri dan salah satunya adalah kasus peredaran narkoba yang ditemukan modus bahwa perempuan dimanfaatkan untuk menjadi kurir dalam sebuah hubungan pribadi ataupun dalam perkawinan," kata dia.

"Kasus perdagangan narkoba menjadikan perempuan sangat rentan menjadi korban, karena eksploitasi kepatuhan, ketaatan dalam sindikasi narkoba, dimana yang dimanfaatkan adalah perempuan miskin, lugu, atau dalam keadaan terpaksa dibuat bergantung, dijadikan kekasih atau istri semu untuk menjadi kurir narkoba, yang akan meresikokan nyawanya," katanya.

Lebih lanjut, Komnas Perempuan meminta presiden mendengarkan pendapat lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia, sebagai lembaga negara dalam membuat keputusan terkait isu hak asasi, di samping lembaga-lembaga lain.

"Negara harus mulai menghentikan hukuman mati untuk membangun keberadaban hak asasi," katanya. (Simak juga di sini bahwa eksekusi mati adalam dilema penegakan HAM Indonesia)