Kejati Riau Tolak Utusan Saksi Kasus Pedamaran

id kejati riau, tolak utusan, saksi kasus pedamaran

Kejati Riau Tolak Utusan Saksi Kasus Pedamaran

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Penyidik Kejaksaan Tinggi Provinsi Riau menolak kehadiran utusan dari seorang saksi yang datang untuk mewakili Direktur Utama PT Virama dalam pemeriksaan kasus dugaan korupsi Jembatan Pemadan I dan II, di Pekanbaru, Rabu.

"Orang bersaksi tidak bisa diwakilkan," tegas Asisten Pidana Khusus Kejati Riau, Amril Rigo, kepada Antara di Pekanbaru, Rabu.

Ia mengatakan, penyidik kejaksaan mengagendakan untuk memanggil dua orang saksi dalam penyidikan kasus korupsi Jembatan Pedamaran I dan II di Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Namun, salah satu saksi justru memerintahkan seorang stafnya untuk datang mewakili pemeriksaan di kejaksaan.

"Saksi yang seharusnya diperiksa adalah Direktur Utama PT Virama, selaku konsultan proyek jembatan. Namun, yang datang justru stafnya bernama Sumagyono. Jadi tentu saja oleh jaksa dia diminta pulang saja," katanya.

Ia berharap saksi bersikap kooperatif dalam pemeriksaan kasus itu dengan datang secara pribadi.

Sedangkan, satu saksi lainnya adalah dari kontraktor PT Waskita bernama Purma Yoserizal. "Saksi ini adalah kepala proyek saat pembangunan jembatan," ujarnya.

Menurut dia, hingga kini belum ada penambahan tersangka dalam kasus tersebut. Sebelumnya, penyidik Kejati Riau telah meningkatkan status kasus tersebut dari proses penyelidikan ke penyidikan, dan menetapkan tersangka yakni mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Dinas PU) kabupaten Rohil berinisial IK.

Kejaksaan juga mensinyalir korupsi proyek jembatan tersebut dilakukan secara bersama pada masa Bupati Rohil, Annas Maamun, yang kemudian menjadi Gubernur Riau dan kini nonaktif dan ditahan karena berstatus tersangka kasus suap oleh KPK.

Pihak kejaksaan mensinyalir dugaan korupsi proyek Jembatan Pademaran I dan II di Kabupaten Rokan Hilir telah mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp251,8 miliar. Negara dirugikan karena terjadi pengeluaran dana pembangunan jembatan tersebut yang seharusnya tidak dianggarkan atau dikeluarkan.

Indikasi dugaan korupsi dalam pembangunan Jembatan Pedamaran I dan II itu awalnya sudah dianggarkan melalui APBD Rokan Hilir tahun anggaran 2008-2010 dengan total dana sebesar Rp529 miliar. Dasar hukum proyek adalah Peraturan Daerah No. 02 Tahun 2008 tentang peningkatan dana anggaran dengan tahun jamak pembangunan Jembatan Pedamaran I dan II.

Namun, pada kenyataannya, tersangka IK dan kawan-kawan kembali menganggarkan kegiatan pembangunan untuk proyek yang sama tanpa dasar hukum yang jelas.

Proyek tersebut kembali dianggarkan di APBD Rokan Hilir pada tahun 2012 sebesar Rp66.241.327.000 untuk Jembatan Pedamaran I. Kemudian, proyek Jembatan Pedamaran II dianggarkan lagi sebesar Rp38.993.938.000.

Selain itu, proyek Jembatan Pedamaran II lagi-lagi dianggarkan pada 2013 sebesar Rp146.604.489.000. Dengan begitu, ada sekitar Rp25i miliar uang negara yang dikeluarkan tanpa dasar hukum yang jelas.