Jakarta (ANTARA) - Kelas menengah Indonesia bergerak dengan ritme khas: berjuang keras di hari kerja, lalu menebus letih dengan mengejar sedikit kemewahan di akhir pekan.
Dari kopi mahal hingga liburan impulsif, semuanya menjadi bagian dari laku baru untuk menghadirkan diri sebagai orang yang mapan.
Baca juga: PT IKPP Gelar Pelatihan Barista, Buat Kopi Kaki Lima Kualitas Bintang Lima
Namun, di balik sorot kamera dan tagar bahagia, tersimpan obsesi lain: kebutuhan untuk tampak berhasil, meski kadang belum betul-betul sampai ke sana.
Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menelaah bagaimana selera dan gaya hidup bekerja sebagai penanda kelas. Dia menyebut, kelas menengah sering memakai gaya hidup sebagai penanda posisi —upaya membedakan diri dari kelompok bawah, sekaligus mendekat ke kelompok atas.
Kelas menengah selalu tampak tenang di permukaan, padahal di balik senyuman, mereka sedang mendayung keras.
Mereka tidak cukup miskin untuk mendapat subsidi langsung, tapi juga belum cukup kaya untuk hidup tanpa beban —terjepit di antara dua ekstrem.
Harga kebutuhan pokok melambung, cicilan mengintai, sementara penghasilan tetap stagnan. Lagi-lagi, kelas yang dianggap “cukup” justru menyimpan kepayahan yang tak mudah diungkap.
Dalam keseharian mereka, laku mewah sering muncul sebagai strategi pengobatan: kopi premium, langganan gym, gawai terbaru, hingga liburan yang tak sekadar santai, tapi juga soal citra.
Kelas menengah bukan sekadar ingin merasa, tetapi ingin tampak berhasil, karena dalam jagad sosial, tampilan kemapanan sering menjadi bukti identitas.
Namun, di balik kemewahan itu tersimpan kegelisahan —bahwa rasa “naik kelas” itu tidak benar-benar mereka miliki; mereka hanya membeli ilusi kesuksesan.
Paradoks ini memperlihatkan betapa laku mewah adalah beban terselubung. Kemewahan yang semula mimpi menjadi kewajiban performa: harus terlihat “naik”, padahal secara finansial belum tentu sudah naik.
Baca juga: Ahli: Kopi Hitam Lebih Sehat Dibandingkan Kopi Gula Aren atau Latte
Kelas menengah ini menukarkan kebebasan dengan kepatuhan terhadap ekspektasi sosial —bahwa “cukup” saja tak pernah cukup; yang dicari adalah pengakuan.
Jumlah kelas menengah yang menurut data BPS (2024) sebanyak 47,85 juta jiwa, atau sekitar 17,13% dari total penduduk Indonesia, selama ini terkesan sepi atensi dan uluran tangan pemerintah. Kabar baiknya kini mulai memperoleh perhatian dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, via kebijakan seperti kemungkinan menjadikan tarif PPh Final UMKM 0,5% permanen, yang bisa dianggap bentuk perhatian fiskal terhadap pelaku UMKM kelas menengah bawah yang jadi tulang punggung ekonomi menengah.
