Pekanbaru, (Antarariau.com) - Gubernur Riau Annas Maamum yang sudah berumur 74 tahun menceritakan pengalaman kecilnya saat agresi militer Belanda dalam rentang waktu 1946-1947 di tanah kelahirannya, Kabupaten Rokan Hilir, Riau
"Saya waktu Agresi Militer Belanda tahun 1947 masih kelas I SD, umur 7 tahun. Ingat betul saya pejuang berguguran melawan Belanda," katanya saat ramah tamah dengan perintis kemerdekaan, veteran, purnawirawan, wredatama, warakawuri dan angkatan 45 di Pekanbaru, Jumat.
Ia mengatakan orang tuanya adalah seorang kepala desa, tapi juga diangkat menjadi wakil camat militer. Saat itu, lanjutnya, Ibu dan dua adik kandungnya ditangkap dan ditawan Belanda.
"Mereka ditawan di Tangsi Belanda Tanah Gede. Saya dan tiga adik lainnya lari ke hutan," ucapnya.
Sebelumnya, di rumah itu, persisnya di Bangko Kanan dimana Tentara Republik Indonesia berpusat di situ. Salah satu korban Gerakan 30 September, D.I Panjaitan pernah menginap di rumahnya.
Selama berada di situ, Annas mengaku sering makan bersama dengan DI Panjaitan yang kadang-kadang hanya makan Ubi rebus.
Ia melanjutkan masyarakat rela membantu tentara melawan Belanda. Masyarakat yang punya 10 kg beras akan menyumbangkan 5 kg beras kepada tentara.
"Malam hari datang Belanda, Diobrak-abriknya rumah saya dan saya lari ke hutan. Tapi tentara tidak ada yang mundur," jelasnya.
Pada saat itu, katanya, jiwa nasionalisme sangat tinggi. Diceritakannya rakyat juga ikut latihan baris-berbaris dan bagaimana acara membekuk dan menyembunyikan Tentara Belanda.
Saat sekolah, kata dia, setiap anak harus memakai bendera merah putih dan ada yang tidak pakai baju sehingga bendera harus ditempelkan ke badannya. Setiap berjumpa, salam merdeka senantiasa diucapkan.
"Begitulah dulu semangat pejuang kita mempertahankan kemerdekaan. Saya merasakan betul. Bagaimana situasi perang juga saya rasakan," ujarnya.
Situasi perang itu diantaranya dirasakan di Bagan Siapi-Api, Sungai Pak Ning, dan Rengat. Tentu, katanya, di seluruh daerah lain juga merasakan seperti di Pekanbaru.