Pekanbaru, (Antarariau.com) - Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia mengkritik kinerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Riau dalam proses relokasi gajah Sumatera yang diduga tidak sesuai prosedur menggunakan obat bius sehingga menyebabkan satu ekor gajah liar mati.
"Bius itu adalah obat keras yang sesuai aturan seharusnya hanya bisa digunakan oleh dokter hewan atau orang yang dibawah penyeliaan atau pengawasan langsung dokter hewan dalam penggunaannya," kata Pengurus PDHI Drh Wisnu Wardana ketika dihubungi dari Pekanbaru, Rabu.
Kuat dugaan, lanjut Wisnu, kematian seekor gajah liar di Pusat Konservasi Gajah di Provinsi Riau pada 1 Januari lalu usai direlokasi adalah korban salah prosedur dalam relokasi karena diyakini dalam proses relokasi itu tidak ada satu pun dokter hewan yang diikutsertakan.
"Sudah lama seperti itu, mereka (BBKSDA) punya dokter hewan tapi tidak diberdayakan," kata Wisnu.
Kondisi serupa, lanjutnya, juga terjadi pada tahun 2006 lalu saat relokasi gajah liar dari Suaka Margasatwa Balai Raja di Kabupaten Bengkalis. Akibat salah prosedur dalam penangkapan, dua gajah liar akhirnya mati.
Ia mengaku menyayangkan, BBKSDA mengandalkan orang yang tidak kompeten dengan latar belakang ilmu kedokteran dalam penggunaan bius dalam proses relokasi gajah liar. Padahal, hal tersebut sangat membahayakan.
"Kalau orang tidak punya latar belakang medis, pakai obat bius yang hanya setahu dia sendiri. Berapa dosisnya apa tepat untuk gajah liar ya tidak tahu," ujarnya.
Sementara itu, Humas BBKSDA Riau M. Zanir ketika dikonfirmasi mengakui memang tidak ada dokter hewan yang terlibat langsung dilapangan saat proses penembakan bius ke satwa bongsor itu. Namun, ia membantah menggunakan tenaga yang tidak terlatih dalam proses relokasi.
"Yang biasa kami pakai itu sudah terlatih dan sudah sering melakukan relokasi (satwa)," ujarnya kepada wartawan.
Ia mengatakan, dokter hewan disiagakan untuk memeriksa satwa ketika sudah tiba di pusat konservasi.