Pekanbaru, (antarariau) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengapresiasi jasa pelayanan keuangan yang berani melaporkan transaksi keuangan mencurigakan terkait kasus hukum dugaan suap PON XVIII di Riau yang kini ditangani KPK.
"Saya berterima kasih ada pelaporan dari Pekanbaru yang kini sedang diproses, tentu semuanya juga sudah tahu prosesnya sudah berjalan di KPK," kata Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Agus Santoso di sela pelatihan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Pekanbaru.
Meski begitu, ia mengatakan tidak bisa berbicara terbuka mengenai penelusuran transaksi keuangan yang dilaporkan tersebut karena kasus hukumnya masih berjalan.
Namun, ia mengatakan PPATK akan terus berkomitmen untuk membantu KPK menelusuri transaksi yang mencurigakan itu.
KPK sudah menetapkan Gubernur Riau Rusli Zainal sebagai tersangka dua kasus sekaligus yakni dugaan suap PON XVIII serta korupsi kehutanan.
KPK juga terus menelusuri dugaan pencucian uang (money laudring) dengan menelusuri kekayaan gubernur, bahkan sempat melakukan penggeledahan terhadap rumah mewah di Jakarta pada Maret lalu yang ternyata atas nama Sarifah Damianti, istri muda Rusli Zainal.
Agus mengatakan, modus pencucian uang para koruptor kini juga melibatkan anggota keluarga maupun ajudan pejabat.
"Secara umum tipologi pencucian uang seperti itu, para koruptor tega menyeret keluarganya sendiri," kata Agus.
Ia mengatakan pihaknya masih terus melakukan penelusuran terhadap setiap transaksi keuangan yang dilaporkan ke PPATK, dalam hal ini termasuk yang terjadi di Pekanbaru. Tim dari PPATK bahkan juga langsung turun ke daerah-daerah di mana transaksi keuangan mencurigakan itu berasal untuk keperluan investigasi.
"Kami bekerja seperti intelejen, saya tidak bisa membuka kapan tim PPATK turun karena untuk melindungi anggota-anggota saya," katanya.
Ia menambahkan, PPATK kini terus mendorong BPR untuk berani melaporkan setiap transaksi keuangan yang mencurigakan.
Menurut Agus, BPR kini menjadi sasaran empuk untuk praktik pencucian uang baik itu hasil korupsi, narkoba, maupun pembalakan liar.
"Kami sekarang sedang melakukan pelatihan agar BPR tahu bentuk transaksi keuangan yang mencurigakan itu seperti apa dan yang penting adalah untuk berani melaporkannya ke PPATK," ujarnya.
Menurut dia, dalam kurun 2003 hingga November 2012 PPATK menerima sekitar 12 juta laporan transaksi keuangan tunai yang mencurigakan. Sekitar 0,8 persen berasal dari Provinsi Riau. Sedangkan, selama 2012 jumlah transaksi tunai mencurigakan yang diterima PPATK mencapai dua juta, atau rata-rata mencapai 166 ribu laporan masuk tiap bulan.
"BPR menjadi sasaran karena mereka (koruptor) mengira bank itu tidak terpantau karena berada di luar provinsi atau di kabupaten, padahal BPR itu merupakan satu jaringan yang bisa dipantau," ujarnya.