Enam Mengaku Mahasiswa Bangkinang Luka Usai Bentrok Dengan Aparat

id enam mengaku, mahasiswa bangkinang, luka usai, bentrok dengan aparat

Enam Mengaku Mahasiswa Bangkinang Luka Usai Bentrok Dengan Aparat

Pekanbaru (antarariau.com) - Enam mahasiswa yang menggelar unjuk rasa di depan gedung DPRD Kampar, Riau, menuntut janji politik bupati terkait pendidikan gratis mengalami luka-luka usai bentrok dengan aparat kepolisian setempat di Bangkinang, Riau.

"Bentrok terjadi saat kami mencoba untuk datang memenuhi undangan anggota DPRD Kampar di Bangkinang. Rencana pertemuan ini merupakan buah dari aksi unjuk rasa yang kami gelar kemarin (Rabu 28/11)," kata Anton, seorang mahasiswa yang turut dalam unjuk rasa dan bentrok dengan aparat saat ditemui di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru, Kamis sore.

Anton mengaku juga sempat menjadi korban pemukulan beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga di depan pintu gerbang gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kampar di Bangkinang.

Selain Anton, nama-nama korban lainnya yakni Jihad, Tison, Uci, Anwar dan Jimmi.

Anton mengakui dirinya sempat dicekik oleh seorang aparat hingga lehernya mengalami memar.

Sementara Tison, Uci dan Anwar serta Jimmi sempat dipukul di bagian wajah dan perut dan juga mengalami memar di bagian wajah.

Yang terparah, kata Anton, yakni Jihad yang mengalami pembengkakan di bagian kepala bagian belakang setelah dipukul secara membabi buta oleh aparat bahkan sempat di pijak-pijak.

"Peristiwa bentrok terjadi sekitar pukul 12.30 WIB. Waktu itu, kami yang berjumlah sekitar 30 orang mahasiswa mendatangi DPRD Kampar untuk memenuhi janji adanya pertemuan terkait tuntutan sebelumnya mengenai pendidikan gratis," katanya.

Namun sesampainya di sana, demikian Anton, ternyata telah lebih dahulu puluhan aparat berjaga-jaga di depan gedung dan menghadang serta melarang massa untuk masuk ke ruang dewan.

Alhasil, demikian Anton, bentrok pun tak terhindarkan ketika beberapa polisi yang menghadang tiba-tiba melayangkan pukulan ke seorang mahasiswa.

"Tanpa alasan, aparat itu main pukul saja. Padahal kami diundang untuk melakukan pertemuan dengan anggota DPRD yang berada di dalam gedung," katanya.

Saat ini Anton dan lima korban luka lainnya dengan ditemani dengan sejumlah mahasiswa satu universitas di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)Bangkinang telah berada di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru untuk menjalani perawatan.

"Kami juga akan melaporkan kasus ini ke Markas Polda Riau menuntut Polda agar segera memproses oknum anggotanya yang telah menganiaya kami," kata Rian, mahasiswa lainnya yang mendampingi Anton.

Dia mengakui, aksi menuntut realisasi janji politik Bupati Kampar Jefri Noer terkait pendidikan gratis merupakan upaya yang telah lama mereka perjuangkan.

"Entah berapa kali kami menggelar aksi unjuk rasa ini. Yang jelas, sejak tiga tahun lalu kami sudah mulai menggelar aksi unjuk rasa menuntut hal yang sama," katanya.

Pihak petinggi aparat kepolisian Kabupaten Kampar sejauh ini belum bersedia dikonfirmasi oleh wartawan terkait insiden itu.

Ketika dihubungi per telepon, Kepala Polres Kampar belum bersedia menjawab. Pesan singkat via selular juga tak kunjung dibalas.

Bahkan, kata dia, sewaktu Bupati Kampar masih dijabat oleh Burhanuddin (mantan bupati yang saat ini tersangkut kasus dugaan korupsi pengeluaran izin pengelolaan hutan di Kampar) kami telah sering menggelar aksi menuntut pendidikan gratis.

"Namun tidak pernah terealisasi. Hingga memasuki masa jabatan Bupati Kampar saat ini (Jefry Noer). Dalam janji politiknya, bupati ini sempat berjanji akan memberikan fasilitas pendidikan gratis, namun sampai sekarang nggak juga terealisasi," katanya.

Dia menjelaskan, dalam kampanye saat mencalonkan diri sebagai Bupati Kampar, Jefry Noer berjanji akan mensejahterakan rakyat dengan mengusung lima pilar.

Diantaranya, kata Rian, yakni pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi kerakyatan, peningkatan akhlak dan moral, serta memberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan gratis.

"Namun satu pun belum ada yang terealisasi. Untuk itu, kami menuntut janji politik itu. Yang paling utama adalah pendidikan gratis karena di Kampar, selama ini pungli (pungutan liar) di dunia pendidikan sangat marak terjadi," katanya.

Bayangkan saja, lanjut Rian, masyarakat harus membayar uang sebesar Rp4 juta untuk memasukkan anak ke sekolah negeri setingkat SMP dan lebih Rp5 juta untuk setingkat SMA.

"Belum lagi adanya pungli terkait uang buku, uang seragam, uang pembangunan dan lain-lain. Kami akan terus berjuang untuk menuntut janji politik itu. Masyarakat tidak mau dibodoh-bodohi terus-terusan," katanya. ***1*** (T.KR-FZR)