Fitra: Penambahan Dana PON Peluang Kompromisasi Koruptor

id fitra penambahan, dana pon, peluang kompromisasi koruptor

Pekanbaru, (antarariau) - Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (Fitra) Riau memrotes adanya rencana penambahan anggaran berbagai proyek fasilitas Pekan Olahraga Nasional karena akan membuka peluang adanya kompromisasi para koruptor.

"Jangan lagi ada anggaran untuk PON Riau karena akan menambah luka hati masyarakat, serta akan lebih membuka peluang terulangnya kompromisasi bagi para koruptor di daerah ini," kata Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra Riau, Triono Hadi di Pekanbaru, Selasa.

Menurut dia, pemaksaan untuk terselenggarannya Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau pada September 2012 (sesuai rencana awal) sama halnya dengan adanya pembiaran upara "penggerogotan" uang rakyat dan negara melalui pos anggaran yang terintegrasi.

Hal demikian menurutnya, juga sama halnya dengan pembiaran adanya ajang untuk mengumpulkan pundi-pundi keuntungan dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Hal demikian jelas saja, karena dari hasil penyidikan sampai persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Pekanbaru, membuktikan adanya kompromisasi antara legislatif dan ekskutif dalam hal mengamankan pos-pos korupsi anggaran PON," tukasnya.

Memang, demikian Triono, menurut pengakuan dari saksi persidangan antara pemerintah dan pihak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau yang saling buang badan bahwa uang lelah tersebut adalah permintaan dari Anggota Panitia Khusus (Pansus) DPRD Riau.

"Namun, menurut hemat kami (Fitra Riau) antara legislatif dan ekskutif sama saja mengharapakan keuntungan dari proyek PON," ucapnya.

Secara logika akal sehat misalnya, kalau anggaran yang diajukan oleh pemerintah (Pemprov Riau) untuk menambah anggaran pembangunan arena menembak tidak di "mark-up", atau dengan tujuan semata untuk pelaksanaan PON, Anggota Pansus tentu tidak akan meminta "uang lelah", katanya.

"Nah, di sana terlihat bahwa adanya kompromisasi antara ekskutif dan legislatif dalam me-'mark-up' anggaran APBD," ujarnya.

Bayangkan saja, kata dia, dari pagu anggaran awal yang sebesar Rp44,9 miliar, mau ditambah lagi Rp19 miliar, hal demikian tentunya sangat tidak wajar.

"Secara regulasi itu sudah melebihi batas 10 persen eskalase menurut Peraturan Pemerintah (PP) 54 tahun 2010," ucapnya, menegaskan.

Sebaliknya, lanjut dia, apabila dikatakan juga dalam persidangan bahwa anggota DPRD selalu meminta "uang lelah" dalam proses pengesahan peraturan daerah (perda), tentunya para legislator mengetahui kalau anggaran yang diajukan melalui perda itu telah dilakukan pengelembungan.

"Yang jelas, kalau seperti ini model dan karakter ekskutif dan legislatif di Riau, sebesar apapun APBD tidak akan pernah cukup dan mampu membangun kesejahteraan bagi rakyat Riau," katanya.

Oleh karenanya, demikian Triono, dalam pola penganggaran di Riau, apapun anggaran dan besarannya, tidak terlepas dari oligarki antara legislatif, ekskutif dan kontraktor yang melakukan kompromisasi dalam politik anggaran.

Kasus suap PON Riau sejauh ini telah menetapkan sejumlah tersangka, mulai dari kalangan legislatif, eksekutif maupun kontraktor pengerja proyek fasilitas penunjang event olahraga nasional itu.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani kasus ini sejak awal juga terus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap sejumlah alat bukti dan para saksi yang terus dihadirkan dalam persidangan lanjutan para tersangka kasus tersebut.