Tangisan Rohingnya

id tangisan rohingnya

Tangisan Rohingnya

Sesosok pria terpulas nyenyak di sebuah pembaringan hanya beralaskan lantai. Cukup luas ruang itu, namun tubuhnya yang tanpa baju tetap selonjor di satu posisi, seakan terkulai tanpa daya, dengan mimpi suram masa lalunya.

Sesekali matanya terbuka, menatap hampa dua orang asing yang tengah memperhatikannya sejak beberapa waktu dirinya terpulas nyenyak.

"Namanya Sahid Husin Bin Mogu Ahmad. Dia salah satu dari sepuluh orang korban konflik Rohingya Myanmar yang sempat menginap di sini," kata Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pekanbaru, Riau, Fritz Aritonang, Rabu (1/8).

Perbincangan dengan Fritz waktu itu hanya berbisik. Namun pria malang ini sepertinya mampu mendengarkan kata demi kata atas percakapan ANTARA dengan Kepala Rudenim Pekanbaru.

Tubuh pria yang tidak begitu mulus itu, sesekali bergerak spontan, seakan merespons perbincangan yang tengah berlangsung tidak jauh dari raganya yang kekar.

Sekilas nyaris tidak ada perbedaan paras wajah pria ini dengan wajah-wajah pribumi Indonesia. Begitu juga warna kulit tubuhnya, sedikit kuning langsat bercampur kecoklatan. Hanya saja, sekujur tubuhnya tampak dipenuhi daki yang melekat "permanen", terlebih di setiap sela berbagai engsel tubuh tegapnya.

"Ada apa," kata Sahid yang baru saja terjaga dari tidurnya yang tampak begitu pulas. Meski kenyataannya, pria ini selalu sigap atas siatuasi yang ada di sekitarnya.

Penryataan itu, terlontar sedikit terbata-bata, namun tertata dengan jelas dan dapat dimengerti dengan mudah bagi masyarakat pribumi.

Ungkapan tanya itu, hanya dibalas dengan senyuman. Bertanda sebuah kasih sayang untuknya yang kemudian direspons dengan berbalik tersenyum. Ia pun kembali terpulas, masih pada posisi miring dengan kaki selonjor, melepaskan semua beban dan penatnya yang sempat terpikul dalam benak dan raganya.

"Sahid tinggal di Rudenim ini bersama empat orang warga negara Myanmar asal Rohingya lainnya yang saat ini mungkin sedang berjalan-jalan ke luar," kata Fritz.

Sebelumnya, kata Kepala Rudenim, Sahid datang bersama dengan sepuluh taman yang rata-rata hampir sebayanya.

Namun lima lainnya memilih jalan hidupnya sendiri ketimbang bersabar menanti suaka lewat pertolongan pemerintah.

Saat ini bersama Sahid, kata Fritz, di Rudenim Pekanbaru yang juga pengungsi dari Rohingya Myanmar, juga ada pria dewasa atas nama Rahmatullah Bin Rahimullah, Rahimuddin Bin Salim, Anwar Bin Abdulhakim dan Kobi Ahmad Bin Abdul Hussain.

"Seluruhnya bisa berbahasa Indonesia logat Melayu. Hal ini mungkin karena sebelumnya rata-rata dari mereka, sebelum terdampar di Tanah Air, sempat tinggal di Malaysia," katanya.

Bahkan, kata Fritz, di antara korban konflik Rohingya itu ada yang telah begitu lama atau lebih dua tahun berada di Malaysia.

Namun kebanyakan mereka mengakui Malaysia bukan merupakan negara tujuan utama untuk menetap. "Malaysia hanya negara persinggahan sementara bagi mereka," katanya.

Begitu juga Thailand dan Singapura, kata Fritz, tidak sedikit pengungsi Rohingya yang sempat tinggal di negara itu.

"Namun tetap, negara-negara itu bukan menjadi negara tujuan utama bagi mereka. Entah apa sebabnya, namun kebanyakan mereka mengaku tidak nyaman selama berada di sana," katanya.

Negara Tujuan

Fritz selaku Kepala Rudenim Pekanbaru menjelaskan, rata-rata para pengungsi Rohingya Myanmar itu sejauh ini hanya mengaku senang saat berada di Indonesia.

Mereka menaruh harapan besar untuk dapat tinggal dan menetap di negeri yang dipandang nyaman dan aman, bersih dari konflik SARA seperti yang terjadi di negaranya.

Memang, diakui Fritz, tidak sedikit pula yang masih berharap untuk mendapatkan suaka ke Australia sebagai negara tujuan utama.

Seperti halnya yang dilakukan oleh kelima pengungsi Rohingya sebelumnya, yang pergi meninggalkan Rudenim Pekanbaru tanpa pamit. Mereka memilih jalan hidupnya sendiri tanpa memberi kesempatan negara ini untuk memberikan pertolongan demi kemanusiaan.

"Lima dari 10 imigran Rohingnya itu pergi meninggalkan Rudenim Pekanbaru sejak beberapa pekan lalu. Mereka memilih jalan sendiri ketimbang dibantu mencarikan solusi dari pihak pemerintah Indonesia," kata Fritz Aritonang.

Menurut Fritz, kepergian lima imigran asal Myanmar itu bukan merupakan sebuah pelarian mengingat mereka bukan merupakan tahanan yang telah melakukan pelanggaran hukum, baik di negaranya maupun di negeri ini.

"Mereka itu tidak bisa dikatakan kabur atau melarikan diri, melainkan mencari jalan hidupnya sendiri tanpa bantuan pemerintah Indonesia," katanya.

Hal ini, kata dia, mengingat imigram itu merupakan warga negara asing yang menjadi korban atas konflik di negaranya sehingga sepantasnya mendapatkan solusi dari pemerintah.

"Bicara mengenai solusi, tentunya banyak yang harusnya bisa diberikan untuk para korban konfllik ini. Karena bagaimanapun, demi rasa kemanusiaan mereka wajib mendapatkan pertolongan dari negara mana pun, tidak terkecuali Indonesia," katanya.

Demi Martabat

Kepala Rumah Detensi Imigrasi Pekanbaru, Riau, Fritz Aritonang menyatakan, pemberian pertolongan untuk para imigran Rohingya Myanmar dalam wujud atau bentuk apa pun merupakan upaya kemanusiaan Indonesia yang mampu mengangkat harkat dan martabat negeri ini.

"Ini adalah kesempatan bagi bangsa ini untuk meningkatkan harkat dan martabat. Tunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang memiliki kemanusiaan yang tinggi," katanya.

Firtz yang ditemui di ruang kerjanya menyatakan bahwa dipandang dari sisi ekonomi, para imigran asal Rohingya itu memang tidak akan memberikan keuntungan apa-apa bagi negara ini.

Hal itu karena memang kebanyakan mereka merupakan warga negara yang rata-rata memiliki kualitas sumber daya manusia relatif rendah atau memiliki latar pendidikan rendah.

Namun kerugian itu hanya untuk sekarang saja, demikian Fritz, ketika pemerintah bangsa ini telah memberikan atau memfasilitasi mereka untuk mendapat pendidikan layak seperti warga negara Indonesia lainnya, secara perlahan juga akan mengangkat sisi kualitas SDM mereka.

Jalan satu-satunya untuk menuju kebaikan itu, yakni dengan menaikkan status mereka sebagai WNI di kemudian hari.

"Itu satu hal dalam sisi ekonominya. Karena Australia sebagai negara maju sangat mungkin tidak akan menerima para imigran Rohingya Myanmar itu karena mereka tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk bisa dimanfaatkan sebagai penunjang ekonomi di negara itu," katanya.

Berbeda dengan para imigran asal Afghanistan yang rata-rata memang memiliki latar pendidikan baik bahkan mampu berbahasa Inggris dengan baik.

"Mereka (para imigran asal Afghanistan) tentunya dapat diterima di Australia karena hal tersebut," katanya.

Fritz menjelaskan, hal itu yang seharusnya menjadi kesempatan bagi negara ini untuk mampu menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara satu-satunya yang dapat menerima para imigran Rohingya Myanmar.

Hal demikian menurut dia, sekaligus akan memberikan penilaian tersendiri bahwa Indonesia memang merupakan negara yang tidak memandang suku, agama dan ras termasuk latar pendidikan rendah untuk berbuat baik terhadap seluruh warga negara asing yang tengah mengalami kesusahan.

"Nantinya, secara tidak langsung upaya ini akan mengangkat citra bangsa ini di mata dunia. Ini secara politisnya," kata dia.

Kemudian dampak yang lebih luas lagi, kata Fritz, jika penilaian telah baik di mata dunia, maka dengan sendirinya, segala sektor baik perekonomian dan perpolitikan Tanah Air akan turut melangkah ke masa depan yang cerah.

"Para investor dan klien negara ini di seluruh dunia akan tidak sungkan-sungkan membeli atau menerima produk kita di sana karena sisi kemuliaan itu," katanya.

Terus Bertambah

Dikabarkan, jumlah pengungsi asal Rohingya Myanmar yang mencari suaka ke Indonesia dan sejumlah negara lainnya diperkirakan akan terus bertambah.

Hal itu menurut Fritz, disebabkan masih belum kondusifnya keamanan di perkampungan muslim di Myanmar tersebut.

Untuk saat ini, sejumlah pengungsi asal Rohingya itu juga telah berada di Tanah Air. Mereka dikabarkan menyebar di sejumlah daerah dengan terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengungsi yang masih ditampung di Rudenim dan yang di luar Rudenim.

Perbedaannya, bagi pengungsi Rohingnya yang di luar Rudenim itu ada juga yang telah dinyatakan sebagai pengungsi resmi oleh UNHCR (sebuah lembaga di bawah PBB yang menangani pengungsi) dan yang masih di Rudenim masih diurus statusnya oleh UNHCR.

Untuk Pekanbaru sebelumnya terdapat 10 pengungsi Rohingya yang berada di Rudenim. Namun lima lainnya terakhir memilih jalan hidupnya sendiri sebelum mendapatkan status sebagai pengungsi dari UNHCR.

Dikabarkan pula, biaya akomodasi para imigran Myanmar yang masih di Rudenim ataupun di luar Rudenim akan ditanggung Ireguler Organization Migran (IOM) atau lembaga swadaya yang diberikan masing-masing negara donor yang membiayai para pencari suaka.

Selain di Pekanbaru, dikabarkan juga para pengungsi Myanmar itu berada di sejumlah wilayah Tanah Air lainnya seperti di Belawan sebanyak 22 orang, Tanjung Pinang 107 orang, Pontianak satu orang, Balikpapan satu orang, Kupang ada lima orang, Manado 35 orang, Makassar tujuh orang serta di Jakarta 10 orang, dan di Ditjen Imigrasi Jakarta ada sebanyak tiga orang.

Sementara untuk pengungsi yang telah mendapat rekomendasi dari UNHCR diperkirakan ada sebanyak 214 juga tersebar di sejumlah wilayah Tanah Air.

Akar Masalah

Kasus kekerasan yang terjadi atas warga Rohingya telah banyak menuai perhatian serta kecaman publik internasional terhadap pemerintah Myanmar. Bahkan di Indonesia, rasa simpati, empati maupun dukungan terhadap etnis Rohingya terus mengalir tanpa henti.

Meski demikian, tak jarang di antara banyak pihak yang tidak mengetahui akar konflik Rohingya yang sebenarnya. Sehingga tak jarang berbagai perdebatan pun menyeruak di berbagai media.

Sejauh ini, terdapat banyak pandangan mengenai akar konflik di Myanmar yang melibatkan etnis Rohingya, di mana kesemuanya hampir menunjuk kepada masalah etnis atau agama sebagai sumber konflik yang utama.

Tentu saja pendapat ini tak salah seluruhnya dan juga tak benar sepenuhnya, sehingga membutuhkan penelusuran yang lebih mendalam.

Namun jika dilirik melalui sejarahnya, terungkap bahwa jauh sebelum konflik Rohingya pada 2012 yang kian menyita perhatian dunia, sebenarnya etnis Rohingya telah ditindas selama puluhan tahun lalu, baik oleh negara maupun etnis mayoritas di Myanmar, yang kebetulan beragama Buddha.

Sebagian sejarah mengungkapkan, bahwa sejak sebelum Burma merdeka di tahun 1942, dikabarkan telah terjadi berbagai aksi kekerasan terhadap orang Rohingya.

Namun sejarah tersebut tak lantas mendapat pembenaran semua pihak. Beberapa lainnya bahkan berpandangan bahwa pada konflik di Myanmar juga terdapat adanya tangan-tangan asing yang bermain pada konflik di sana sebagai pertarungan soal minyak dan gas bumi.

Hal itu seperti yang diungkapkan Hendrajit selaku Direktur Global Future Institute Jakarta. Hendrajit juga menolak bila konflik Rohingya dikatakan sebagai konflik antaragama dan sebagai bentuk "genosida", dalam hal ini yaitu "muslim cleansing".

Hendrajit mengungkap sejarah, bahwa di tahun 2005, perusahaan gas China menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak.

Sebagaimana pada kasus yang terjadi di Indonesia seperti di Sampang, Mesuji dan lainnya yang menunjukkan bahwa konflik-konflik horizontal menandakan ada sesuatu yang yang diincar dari sisi geopolitik.

Yang menarik dari sisi rezim militer di Myanmar dari era Ne Win hingga sekarang, kata dia, ternyata melibatkan perusahaan asing yang kerap mengangkat isu hak asasi manusia ke permukaan demi kepentingan politik dan hak kelola sumber daya alam.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Jusman Dalle (Humas KAMMI Pusat). Seperti dikutip dari situs resmi KAMMI, Jusman Dalle mengungkapkan kecurigaan adanya pihak asing yang bermain di dalam konflik Rohingya.

Menurut dia, hal itu adalah akar masalah yang sebenarnya.

Jusman Dalle juga menegaskan, tindakan tidak manusiawi terhadap etnis Rohingya tidaklah berlatar belakang etnis dan agama seperti yang digembar-gemborkan selama ini, namun lebih karena adanya kepentingan ekonomi.

"Bahkan tanpa sadar, rakyat Myanmar justru menjadi korban, diperalat oleh kepentingan hegemoni ekonomi China," katanya.

Namun terlepas dari hulu dan hilir masalah Rohingya, secara garis besar, apa pun bentuk dan latar belakang aksi kekerasan itu, 'kita' harus melihat kasus Rohingya sebagai kejahatan kemanusian yang harus diselesaikan sebelum bertambahnya korban serta jerit derita sesama umat manusia.

Tangisan Rohingya, adalah sebuah derita yang harus di selesaikan secara bersama dan sesama umat manusia, terlepas dari dari suku, ras dan agama.