Pekanbaru, (ANTARARIAU News) - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI yang membidangi Perdagangan, Perindustrian, BUMN, dan Koperasi, Aria Bima, mengingatkan, kebijakan Pemerintah terkait konversi BBM bersubsidi jangan sampai menjadi prakondisi peniadaan subsidi BBM bagi rakyat.
"Konversi BBM ke gas maupun pembatasan BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi, semua harus dilihat dari aspek sejauhmana bisa lebih menyejahterakan rakyat," katanya kepada ANTARA, Jumat, melalui jejaring komunikasi.
Ia mengaku khawatir, kebijakan konversi BBM ke gas dan pembatasan BBM bersubsidi sekarang ini hanya menjadi prakondisi untuk meniadakan subsidi BBM sama sekali.
"Selama ini khan upaya meniadakan subsidi BBM acap didasari pola pikir 'neolib' belaka. Yakni keinginan untuk menyerahkan harga BBM kepada mekanisme pasar sepenuhnya, agar terbuka akses yang kompetitif bagi investor asing," ujarnya.
Seperti diketahui, lanjutnya, jaringan SPBU milik asing seperti 'Shell' (Inggris), 'Total' (Prancis) dan 'Petronas' (Malaysia) telah masuk Indonesia.
"Akan tetapi, mereka tak bisa berkembang lantaran kalah bersaing dengan SPBU yang menjual BBM bersubsidi dari Pertamina," ungkapnya.
Karenanya, menurutnya, jika upaya meniadakan subsidi BBM kembali terjadi, Ppemerintah tidak lebih dari sekadar melayani kepentingan investor asing, sekaligus mengabaikan kesejahteraan rakyatnya sendiri.
"Pemerintah juga menghadap-hadapkan rakyat secara langsung dengan kekuatan modal transnasional.
Padahal perlu diingat, mobil-mobil pribadi di negeri kita banyak yang berfungsi sebagai alat produksi bagi pemiliknya," katanya.
Misalnya, demikian Aria Bima, mobil berplat hitam yang digunakan sarana angkutan pedagang keliling dan pedagang pasar tradisional.
"Atau juga mobil plat hitam yang dipakai sebagai sarana angkutan panen petani di desa-desa," tuturnya.
Aspek Kesejahteraan Rakyat
Aria Bima kemudian menilai, pembatasan BBM bersubsidi idealnya hanya menyasar mobil pribadi dengan kapasitas mesin ('cc') besar, bukan untuk seluruh mobil yang berplat hitam.
Dikatakannya, guna menyiasati beban berat yang harus ditanggung APBN akibat membengkaknya subsidi BBM, masih banyak hal bisa ditempuh Pemerintah.
Salah satunya dengan melakukan konversi BBM yang digunakan PLN ke gas dan batu bara.
"Tetapi mengapa hal itu (konversi BBM PLN) tidak dilakukan? Karena itu saya curiga, jangan-jangan pembatasan BBM bersubsidi ini punya agenda tersembunyi untuk membuka iklim yang kondusif bagi investor asing," katanya.
Ia menambahkan, selama ini politik anggaran kita keliru, yakni kurang memperhitungkan aspek kesejahteraan rakyat seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.
"Politik anggaran kita lebih memperhatikan aspek kalkulatif APBN belaka, dan melupakan efek berantai suatu kebijakan bagi rakyat kebanyakan," tandasanya.
Terkait kebijakan membatasi BBM bersubsidi atau menaikkan harga BBM, misalnya, menurutnya, efek berantai terhadap menurunnya daya beli rakyat, yang berakibat pemiskinan, kurang diperhatikan.
"Demikian pula pengaruhnya bagi menurunnya daya saing industri nasional, yang bisa berakibat lebih lanjut terjadinya deindustrialisasi dan PHK massal," kata Aria Bima lagi.